𝐋𝐢𝐤𝐚 𝐋𝐢𝐤𝐮 𝐊𝐞𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟑𝟎 𝐀

Di halaman belakang, landasan helikopter menunggu siap untuk digunakan. Matahari bersinar cerah, memantulkan sinarnya di permukaan helikopter Bell 206 yang berkilau. Bersama seorang pilot berpengalaman, Nathan memeriksa semua peralatan dengan seksama. Mesin helikopter bergetar, menandakan kesiapan untuk terbang. Suara lembut baling-baling mulai berputar, mengisyaratkan bahwa petualangan baru akan segera dimulai. Helikopter meluncur perlahan dari landasan pacu. Pesawat ini naik ke atas dan menyusuri skyline Jakarta yang megah. Gedung-gedung pencakar langit terlihat kecil di bawahnya. Suara mesin helikopter menggelegar di telinga. Dengan setiap putaran baling-baling, Nathan merasakan kebebasan yang hanya bisa didapat dari terbang.

Setelah sekitar 1,5 jam terbang, helikopter berbelok ke arah selatan menuju Kota Purwokerto. Pemandangan hijau dari sawah yang subur dan pepohonan rimbun mengalir di bawahnya. Cuaca mendukung. Suasana dalam helikopter terasa nyaman dan tenang. Setibanya di Kota Purwokerto, pilot mengarahkan helikopter ke lapangan terbang kecil. Helikopter mendarat mulus di landasan. Nathan dan pilot segera turun untuk mengisi bahan bakar. Proses pengisian cukup memakan waktu. Sambil menunggu, Nathan menikmati secangkir kopi dari kafe kecil di dekatnya. Ia memandangi pemandangan sekitar yang tenang.

Setelah pengisian bahan bakar selesai, Nathan kembali ke dalam helikopter dan memeriksa instrumen. Semua peralatan berfungsi dengan baik. Pilot menaikkan helikopter kembali ke udara. Perjalanan menuju Yogyakarta dilanjutkan. Nathan memasang tujuan akhir di Gunung Brajamusti, gunung yang memiliki sejarah leluhurnya. Perjalanan melintasi langit terasa lebih menyenangkan. Pemandangan di bawah berubah seiring waktu. Dari ketinggian, gunung-gunung dan hutan-hutan tampak bagai lukisan alam yang hidup. Nathan menikmati keindahan yang terbentang di depan mata.

Seiring perjalanan berlangsung, langit mulai berubah warna. Nuansa sore menyelimuti. Setelah terbang selama tiga jam, Gunung Brajamusti mulai terlihat di kejauhan. Gunung ini berdiri megah dengan keindahan yang menakjubkan. Pilot menyesuaikan posisi helikopter untuk mendarat di area datar. Dengan pengalaman dan ketelitian, helikopter Bell 206 mendarat mulus di lapangan. Setelah pilot mendarat, Nathan meminta pilot untuk kembali ke Jakarta. Nathan juga meminta pilot untuk kembali ke lokasi ini sekitar jam sembilan besok pagi. Nathan turun dari helikopter dan melangkah menjauh. Helikopter tersebut mengudara kembali, membawa pilot pergi dan meninggalkan Nathan di lapangan.

Nathan berjalan meninggalkan lapangan. Ia merasa asing di daerah ini. Nathan bertanya kepada beberapa warga tentang lokasi makam Ratu Arunika. Beberapa warga memberikan petunjuk, tetapi satu orang bersedia mengantarnya. Nathan berjalan bersama orang tersebut dan mereka berbincang ringan selama perjalanan. Setelah sekitar sepuluh menit, Nathan akhirnya tiba di area makam keramat Ratu Arunika. Nathan mengucapkan terima kasih sebelum melanjutkan langkah. Kemudian, ia memasuki area makam keramat dengan rasa hormat. Setelah tiba di makam, pemuda itu duduk bersila di depan batu nisan Ratu Arunika. Nathan menutup matanya dan memusatkan pikiran. Ia datang dengan harapan menemui Ratu Arunika untuk menuntaskan misinya.

Proses meditasi dimulai dengan pernapasan dalam. Nathan mengatur napasnya agar lebih tenang. Dalam keheningan, ia berusaha mengosongkan pikirannya dari segala hal yang mengganggu. Nathan fokus pada setiap tarikan dan hembusan napas. Ia merasakan waktu berlalu, menit demi menit, dan Nathan terus terbenam dalam kedamaian. Pemuda itu akhirnya merasakan ketenangan menyelimuti pikirannya. Suara alam sekitar mulai menghilang. Pikiran-pikiran yang biasanya mengganggu mulai memudar. Ia tidak lagi merasakan batasan antara tubuh dan lingkungan. Dalam keheningan yang mendalam, ia merasakan aliran energi di sekelilingnya. Proses meditasi berlangsung lama, membuatnya merasakan keadaan yang lebih dalam.

Setelah beberapa waktu, Nathan merasakan perubahannya. Alam di sekelilingnya mulai bergeser. Suara angin dan gemerisik dedaunan menciptakan irama yang tidak biasa. Ketenangan berubah menjadi kedalaman misterius. Dalam keadaan menutup mata, Nathan merasakan perubahan kuat melalui indera perasa. Hawa lembut menyentuh kulit, memberikan ketenangan. Sensasi dingin dan hangat bergantian melingkupi tubuh. Getaran halus mengalir di sekeliling, membawa kesadaran baru. Nathan melangkah dari dunia nyata menuju alam gaib. Suasana di sekeliling bergetar dengan energi yang tidak dapat dijelaskan.

Nathan membuka matanya di alam yang berbeda, alam gaib. Pemandangan di depannya perlahan membentuk, seperti kabut yang perlahan menghilang untuk menampakkan dunia yang tidak pernah terlihat oleh manusia biasa. Langit di atasnya berwarna ungu gelap dengan bintang-bintang yang berkedip terang, seperti sepasang mata yang terus memperhatikannya. Hawa di sekelilingnya terasa sejuk, namun diiringi dengan kehadiran yang kuat dan mendalam, membawa tekanan yang sulit dijelaskan.

Di kejauhan, Nathan melihat sosok yang sangat dikenalinya, Ratu Arunika. Berdiri dengan anggun di puncak bukit kecil yang dikelilingi oleh bunga-bunga bercahaya, auranya memancar, menyatu dengan alam gaib ini. Jubah merah emas yang ia kenakan berkibar pelan, mengikuti gerakan angin yang tampaknya mematuhi kehendaknya. Wajahnya tetap teduh namun penuh kewibawaan, memancarkan kekuatan kuno yang menenangkan sekaligus mengintimidasi.

Nathan melangkah maju, tubuhnya terasa ringan di tanah yang tidak seperti tanah dunia biasa. Setiap langkahnya seolah tidak meninggalkan jejak, dan semakin dekat ia mendekat ke arah Ratu Arunika, semakin besar energi gaib yang ia rasakan menyelimuti dirinya. Udara di sekitarnya semakin padat oleh kekuatan, membuat setiap napas terasa membawa kehangatan dan kekuatan yang tidak kasat mata.

Ketika Nathan sampai di hadapan Ratu Arunika, sosok leluhur yang kuat itu menatapnya dengan tajam namun lembut, seperti seorang ibu yang mengamati anaknya. “Nathan,” suara Ratu Arunika terdengar bergema di alam gaib ini, lembut namun mengandung kekuatan yang tidak terbantahkan. “Kau kembali ke sini dengan tujuan yang sudah jelas.”

Nathan menunduk sedikit, memberi hormat pada leluhurnya. “Ya, Kanjeng Ratu. Saya siap menerima petunjuk Kanjeng Ratu. Saya tidak ingin kekuatan para jin jatuh ke tangan musuh saya.”

Ratu Arunika tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya ke arah Nathan. “Kekuatan yang ada di Gunung Brajamusti lebih besar dari yang kau kira, Nathan. Jin-jin itu tidak hanya sekadar penjaga emas. Mereka adalah roh-roh purba yang kekuatannya bisa meruntuhkan kerajaan-kerajaan manusia jika dikendalikan dengan salah. Kau harus menantang penguasa mereka. Hanya dengan mengalahkannya, kau bisa menguasai kekuatan jin-jin itu.”

Angin di sekitar mereka tiba-tiba bertiup lebih kencang, seolah merespons kata-kata Ratu Arunika. Langit ungu yang tadinya tenang kini terlihat bergolak, dan gemuruh samar terdengar dari jauh. Nathan merasakan hawa panas di tubuhnya, bercampur dengan ketegangan yang semakin memuncak.

“Tapi ingat, Nathan,” lanjut Ratu Arunika, matanya menatap dalam ke arah pemuda itu. “Pertarungan ini bukan hanya fisik. Jin Penguasa itu akan mencoba menyerang batinmu, memanfaatkan ketakutan dan keraguanmu. Kau harus siap menghadapi dirimu sendiri sebelum bisa menghadapinya.”

Nathan mengangguk, perasaannya campur aduk antara tekad dan sedikit kegelisahan. “Saya mengerti, Kanjeng Ratu. Saya siap menjalani ini. Saya tidak akan membiarkan kekuatan mereka jatuh ke tangan yang salah.”

Ratu Arunika menatap Nathan dengan tatapan penuh kebijaksanaan, seolah mengukur tekad pemuda itu. "Kalau begitu, persiapkan dirimu. Perjalanan menuju puncak gunung dimulai dari sini. Dan di sana, di tempat tertinggi, kau akan menemukan Jin Penguasa. Hanya dengan kemenangan, kekuatan mereka akan menjadi milikmu."

Nathan mempersiapkan dirinya. Pertemuan ini menegaskan satu hal, jalan menuju penguasaan Gunung Brajamusti tidak mudah. Namun, demi mencegah kehancuran, dia tahu bahwa takdirnya tidak bisa lagi dihindari. Ia harus bertarung, tidak hanya melawan jin, tetapi juga melawan keraguan yang ada di dalam dirinya.

Ratu Arunika mulai melayang perlahan, tubuhnya diangkat oleh angin yang berputar lembut di sekelilingnya. Jubah merah emasnya berkibar seirama dengan gerakan angin, menambah aura keagungan yang terpancar dari dirinya. Tanpa suara, sosoknya melesat ke langit, menuju ke suatu tempat yang tampaknya terletak di puncak tertinggi alam gaib ini. Nathan hanya bisa terpaku sejenak, mengagumi betapa mudahnya Ratu Arunika mengendalikan kekuatan gaib di sekeliling mereka.

Nathan menghela napas, memusatkan energinya. Ilmu kanuragan yang diwariskan oleh leluhurnya mulai bekerja di tubuhnya. Tubuhnya terasa semakin ringan, seperti terangkat oleh kekuatan dalam dirinya. Tanah di bawah kakinya bergetar lembut, dan dalam sekejap, Nathan melesat mengikuti Ratu Arunika, meninggalkan jejak cahaya samar di belakangnya. Ia bergerak cepat, hampir seolah-olah meluncur melalui udara tanpa hambatan.

Langit ungu di sekeliling mereka bergolak semakin dalam, seolah-olah merespon kehadiran dua sosok ini. Nathan bisa merasakan angin kencang menerpa wajahnya, namun tubuhnya tetap stabil, dipandu oleh kekuatan kanuragan yang menuntunnya di tengah arus energi gaib yang sangat kuat. Ia terus mengikuti jejak Ratu Arunika, yang semakin menjauh ke langit, menuju ke tempat yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

Mereka melintasi pegunungan kabut dan lembah-lembah berwarna perak yang tidak memiliki dasar jelas. Di bawah mereka, daratan alam gaib tampak misterius, dengan sungai-sungai cahaya yang berkelok-kelok dan pohon-pohon berakar di atas batu yang melayang. Tempat ini jauh dari segala hal yang dikenal Nathan di dunia nyata—sebuah dunia lain yang penuh dengan kekuatan dan misteri.

Setelah melesat sekian lama, Nathan melihat tujuan mereka di depan mata. Sebuah puncak yang tinggi menjulang, jauh lebih tinggi dari gunung-gunung kabut di sekelilingnya. Di puncak itu, batuan hitam berkilauan, memancarkan cahaya ungu yang aneh, seolah-olah diciptakan dari inti alam gaib itu sendiri. Puncak tersebut tidak terhubung dengan daratan lain di sekitarnya, melainkan melayang di udara, seperti sebuah menara raksasa yang berdiri di atas dunia gaib.

Ratu Arunika tiba terlebih dahulu di puncak, melayang lembut di udara sebelum mendarat dengan anggun di atas permukaan batu yang berkilau. Nathan tiba sesaat kemudian, menjejakkan kakinya dengan hati-hati. Udara di puncak ini terasa lebih padat, dipenuhi dengan energi yang menggema di setiap sudut. Nathan bisa merasakan detak kekuatan besar di bawah permukaan, seperti sebuah denyut nadi yang tidak terlihat, namun sangat nyata. Mereka kini berada di titik tertinggi dari alam gaib ini, tempat di mana segala sesuatu terasa jauh lebih kuat dan lebih intens. Nathan berdiri di samping Ratu Arunika, menatap pemandangan yang luar biasa di sekelilingnya, puncak tertinggi dari dunia gaib, di mana langit seolah bersatu dengan daratan.

Ketika Nathan dan Ratu Arunika berdiri di puncak tertinggi alam gaib, suasana di sekeliling mereka berubah dramatis. Angin berhembus kencang, mengguncang batuan berkilau di bawah kaki mereka. Cahaya ungu yang menyinari langit semakin terang, menandakan kedatangan sosok yang dinantikan. Tiba-tiba, kabut tebal berwarna kelabu muncul dari celah-celah batuan hitam, mengalir perlahan dan menyelimuti puncak gunung. Dari dalam kabut, sosok besar mulai terbentuk, memancarkan aura yang sangat menakutkan. Jin Penguasa Gunung Brajamusti muncul, tinggi dan ramping, dengan mata bersinar seperti bola api. Setiap gerakannya menciptakan gelombang energi yang mengguncang puncak gunung, sementara aroma mistis memenuhi udara.

Nathan berdiri tegak, tenang dan berani, menatap tajam ke arah Jin Penguasa. Pemuda itu merasakan energi yang kuat, namun keberaniannya tidak tergoyahkan. Dengan percaya diri, Nathan menyadari bahwa pertarungan ini adalah kesempatan untuk mengubah nasib. Suara gemuruh semakin keras saat sosok Jin bergerak, menciptakan angin kencang di sekelilingnya. Ratu Arunika tetap di samping Nathan, memancarkan kekuatan yang membuat Nathan semakin yakin.

Jin Penguasa Gunung Brajamusti mengamati kehadiran Ratu Arunika dengan tatapan penuh tanda tanya. Suara guntur di langit bergema seiring dengan pertanyaan yang terlintas di benaknya. Keberadaan Ratu Arunika di tempat ini jarang terjadi, dan kehadirannya selalu menandakan sesuatu yang penting.

“Ratu Arunika,” ujarnya, suaranya dalam dan berat, menggema di udara. “Apa yang membawamu ke tempatku? Ini bukanlah tempat sembarangan bagi mereka yang lemah. Kenapa kau berani muncul di hadapanku?”

Ratu Arunika menatap Mabraka dengan tegas, tanpa ada keraguan dalam suaranya. “Aku datang bukan untuk berdebat atau berlama-lama. Aku mengantar cucuku, Nathan, yang ingin menantangmu dalam sebuah duel. Dia bertekad untuk mengambil alih kekuatan Gunung Brajamusti yang selama ini kau kuasai.”

Jin Penguasa Gunung Brajamusti yang bernama Mabraka itu terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Ratu Arunika. Dalam hatinya, ia merasa terkejut, tetapi juga tertarik pada keberanian pemuda itu. “Cucumu?” tanyanya, nada suaranya menunjukkan ketertarikan. “Dia tidak takut untuk menghadapi aku?”

“Dia tidak takut, Mabraka,” Ratu Arunika menegaskan. “Nathan memiliki tekad yang kuat, dan aku yakin dia mampu menghadapi tantangan ini. Ini adalah ujian untuk membuktikan bahwa kekuatan seharusnya tidak jatuh ke tangan sembarangan. Jika dia berhasil, maka kekuatan para jin akan tetap terlindungi dari penyalahgunaan.”

Suara terbahak-bahak Mabraka menggema di seluruh penjuru puncak gunung, menciptakan getaran yang membuat udara bergetar. “Hahaha! Hanya orang bodoh yang berani menantangku,” ujarnya, matanya berkilau dengan sinar meremehkan. “Kau pikir cucumu ini bisa mengalahkanku? Tak seorang pun yang mampu melakukan hal itu, kecuali Prabu Brajamusti sendiri. Dia adalah satu-satunya yang pernah bisa menjegal kekuasaanku.”

Mabraka mengangkat kepalanya, menatap Ratu Arunika dengan senyum mengejek. “Apa yang kau harapkan dari seorang pemuda biasa? Apakah kau benar-benar percaya dia memiliki kekuatan untuk menandingi kekuatanku? Aku telah melindungi Gunung Brajamusti selama berabad-abad, dan tidak ada yang dapat mengubah itu.”

Ratu Arunika menatap Mabraka dengan tatapan tajam, mengabaikan tawa yang menggema di sekitar mereka. “Mabraka, jangan terlalu percaya diri. Keberanian cucuku ini jangan kau anggap sepele. Kekuatan sejati sering kali datang dari sumber yang tidak terduga. Kau mungkin telah menguasai Gunung Brajamusti selama berabad-abad, tetapi ingatlah, kekuatanmu bukanlah satu-satunya yang ada di dunia ini.” Dia melanjutkan, suaranya mengalir tenang namun tegas. “Sejarah mencatat bahwa banyak yang meremehkan orang-orang yang tampak lemah. Mereka yang menganggap remeh lawan sering kali berakhir dalam kehampaan. Jangan biarkan egomu menghalangi penilaianmu. Nathan mungkin masih muda, tetapi ia memiliki potensi yang belum sepenuhnya kau pahami.”

Mabraka tersenyum sinis, tidak mengubah ekspresi meremehkannya. “Kau benar, Ratu Arunika. Kekuatan mungkin datang dari sumber yang tidak terduga. Tapi, aku telah berhadapan dengan banyak lawan, dan tidak ada yang dapat mengalahkanku. Cucumu ini mungkin memiliki keberanian, tetapi itu tidak cukup untuk menghadapi kekuatanku yang telah terasah oleh waktu.” Mabraka lalu melangkah mendekat, menatap tajam ke arah Ratu Arunika. “Sejujurnya, aku tertarik untuk mengadu kekuatan dengan cucumu ini. Jika dia benar-benar berani dan ingin mengujiku, maka kita bisa melakukannya. Tapi ingat, aku tidak ingin pertarungan ini tanpa taruhan. Jika cucumu mampu mengalahkanku, aku bersedia patuh dan tunduk padanya. Bukan hanya aku, semua jin yang berada di bawah kekuasaanku juga akan patuh dan tunduk padanya.” Mabraka berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya mengendap dalam ketegangan yang menyelimuti mereka. Lalu, dia melanjutkan, “Tapi aku juga ingin tahu, jika aku mampu mengalahkan cucumu, apa yang akan aku peroleh?”

Ratu Arunika menatap Mabraka dengan tatapan penuh penegasan. “Jika kau mampu mengalahkan cucuku, maka aku bersedia menjadi budakmu. Aku akan tunduk dan patuh padamu tanpa syarat.” Suasana di sekeliling mereka terasa tegang, dan setiap kata yang diucapkan Ratu Arunika menggema dengan berat. “Ini adalah taruhan yang serius. Jika cucuku kalah, aku akan menjadi milikmu.” Dia menegaskan hal itu, menunjukkan komitmennya pada pertaruhan yang akan segera terjadi.

Begitu mendengar ucapan Ratu Arunika, Mabraka tertawa menggelegar, suara tawanya menggema seolah-olah menggetarkan alam gaib di sekitarnya. "Hahaha! Kalian benar-benar tidak tahu apa yang kalian hadapi!" Dia melanjutkan, "Aku sangat setuju dengan tawaranmu, Ratu Arunika. Jika cucumu kalah, maka kau akan menjadi permaisuriku. Kekuasaanku akan semakin kuat denganmu di sisiku!" Mabraka menambahkan dengan sombong, senyumnya mengembang penuh kepuasan saat membayangkan posisinya di antara para jin.

Ratu Arunika menatap kedua pria di hadapnya dengan tegas. “Sekarang, waktunya untuk memulai duel ini. Nathan, tunjukkan semua yang telah kau pelajari. Mabraka, siapkan dirimu untuk menghadapi lawanmu.”

Dengan itu, Ratu Arunika melayang menjauh, memberi ruang bagi keduanya untuk bersiap. Ia memastikan jarak yang cukup agar mereka dapat bertarung tanpa gangguan. Suasana semakin tegang, dan energi di sekitar mereka mulai bergetar, menandakan bahwa pertarungan akan segera dimulai.

Mabraka menatap Nathan dengan mata penuh kebencian. “Dengarkan baik-baik, Nathan. Aku bersumpah akan menghancurkanmu! Ratu Arunika adalah milikku, dan aku sangat menginginkannya. Tak ada ampun bagimu. Aku akan membinasakanmu sampai tak tersisa!”

Nathan menatap Mabraka dengan tenang. “Aku akan melawanmu hingga akhir, Mabraka. Tidak akan kubiarkan kau menang.”

Kedua pria itu saling menatap, siap untuk memulai duel yang menentukan nasib mereka. Medan energi di sekitar mereka bergetar dengan kuat. Aura menakutkan menyelimuti lokasi pertarungan. Kekuatan yang terlepas dari keduanya menciptakan suasana mendebarkan. Mabraka mengangkat kedua tangannya, menyatukan energi yang menggelora di dalam tubuhnya. Dengan kekuatan penuh, ia meluncurkan gelombang energi hitam berbentuk cakar. Gelombang itu melesat dengan cepat, menciptakan suara mendesing yang menggema di udara. Suara itu menambah kesan menakutkan bagi siapa pun yang mendengarnya.

Nathan tidak terpengaruh oleh serangan itu. Ia merespons dengan cepat menggunakan Ajian Brajamusti (Lompatan Angin). Nathan melompat tinggi ke udara, menghindari cakar hitam yang berbahaya. Di ketinggian, ia bersiap untuk menyerang balik dengan penuh ketenangan. Nathan menghimpun energi biru cerah di telapak tangannya. Energi itu berkilau dengan indah, menyimpan kekuatan luar biasa. Ia mengayunkan tangan dengan cepat, memancarkan sinar terang yang menerjang Mabraka. Sinar itu meluncur dengan kecepatan tinggi, menantang lawannya dalam pertarungan sengit yang baru saja dimulai.

Mabraka segera menyatukan kedua telapak tangannya. Sebuah perisai energi berbentuk kubus terbentuk di hadapannya. Perisai itu menyerap serangan Nathan. Percikan cahaya muncul saat energi mereka bertabrakan, menambah intensitas pertarungan. Mabraka tidak menunggu lama. Ia melesat ke arah Nathan dengan kecepatan tinggi. Tinju yang dikelilingi energi hitam diarahkan tepat ke wajah Nathan. Serangan ini dikenal dengan nama "Tinju Kegelapan".

Nathan bergerak cepat. Ia membungkuk dengan gesit, menghindari serangan Mabraka. Dengan gerakan yang terukur, Nathan melakukan Ajian Brajamusti (Tendangan Harapan) menggunakan lututnya. Serangan itu mengenai perut Mabraka, memaksanya terhuyung mundur. Mabraka berusaha bangkit kembali. Ia mengumpulkan energi hitam di telapak tangannya. Energi itu berkumpul menjadi bola besar yang siap diluncurkan ke arah Nathan. Nathan tidak tinggal diam. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya, menciptakan "Gelombang Pembalas". Gelombang ini meluncur cepat menuju Mabraka, mengguncang tanah saat melesat.

BLAAARRR …!!!

Kedua energi bertabrakan di tengah udara. Ledakan besar terjadi, mengguncang bumi dan memancarkan cahaya ke segala arah. Kekuatan yang dihasilkan menambah ketegangan di alam gaib. Gelombang energi yang sangat kuat mendorong kedua pejuang terlempar ke belakang. Mereka terhempas sejauh puluhan langkah. Debu dan puing-puing beterbangan, menutupi area pertarungan. Meski terpental, Nathan dan Mabraka segera bangkit kembali. Mereka mengumpulkan kekuatan baru. Masing-masing menatap satu sama lain dengan determinasi yang membara. Mabraka mengerahkan seluruh kekuatannya. Tubuhnya dikelilingi aura gelap yang semakin kuat. Ini menunjukkan keseriusannya dalam pertarungan. Ia bersiap untuk menyerang kembali dengan semua kemampuannya.

Nathan merasakan potensi dalam dirinya semakin mengalir. Energi itu memancarkan "Cahaya Harapan" yang bersinar terang. Ia mengatur fokus dan bersiap untuk menggunakan seluruh kemampuannya. Nathan menyadari bahwa ini adalah saat yang krusial. Pertarungan ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang masa depan. Kedua petarung bersiap untuk melanjutkan duel. Mabraka dengan aura gelap yang menakutkan. Nathan dengan cahaya harapan yang menyilaukan. Ketegangan di antara mereka semakin memuncak. Pertarungan yang menentukan ini akan segera dilanjutkan.

“Tidak kusangka kau memiliki kekuatan luar biasa, Nathan. Kau bukan lawan yang bisa kuanggap enteng,” katanya, nada suaranya campur aduk antara kekaguman dan tantangan. “Siapakah kau sebenarnya?” Mabraka bertanya, menatap tajam.

Nathan menjawab, “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang pemuda yang berjuang untuk masa depan. Pertarungan ini akan menentukan banyak hal.”

Mabraka tersenyum sinis, “Baiklah, jika kau benar-benar ingin menantangku, bersiaplah. Tadi itu baru permulaan.”

Mabraka mengumpulkan energi gelap di sekelilingnya. Energi itu berputar membentuk pusaran menyerupai tornado. Pusaran itu semakin besar dan melesat cepat menuju Nathan. Suara angin yang menderu menciptakan ketegangan di udara. Mabraka berusaha melumpuhkan Nathan dengan kekuatan gelap yang mengerikan. Kekuatan pusaran itu mengguncang tanah di sekelilingnya. Serangan ini menunjukkan betapa seriusnya Mabraka dalam pertarungan ini.

Nathan melihat pusaran gelap mendekat dengan kecepatan tinggi. Ia mengaktifkan Ajian Brajamusti (Lompatan Angin). Nathan melesat ke samping, menghindari serangan dengan gesit. Ia memanfaatkan gerakan ini untuk mengumpulkan energi dalam dirinya. Tenaga yang terhimpun memberikan kekuatan untuk serangan berikutnya.

Mabraka tidak menyerah begitu saja. Ia mengejar Nathan dengan cepat, mengayunkan tangan kanannya. Energi hitam menyelimuti tangan tersebut, menciptakan serangan bernama "Cakar Langit". Goresan tajam di udara melesat ke arah Nathan dengan tujuan untuk menghancurkan. Suara angin mengiris terdengar saat serangan itu meluncur. Mabraka bertekad untuk membuat Nathan terjatuh dan mengakhiri pertarungan ini. Nathan, dengan sigap, menciptakan "Dinding Energi". Perisai ini muncul di depannya dengan cepat. Dinding itu berfungsi memantulkan serangan Mabraka. Ketika kedua energi bertabrakan, dentuman keras menggema di seluruh alam gaib. Cahaya memancar dari titik pertemuan, menambah intensitas pertarungan.

BLAAARRR …!!!

Ledakan besar mengguncang seluruh alam gaib. Suara dentuman terdengar menggema, membuat tanah bergetar hebat. Energi dari perisai dan serangan Mabraka melepaskan gelombang cahaya yang membutakan. Bintang-bintang di langit seolah bergetar dan redup sejenak. Awan-awan gelap yang menggelantung di atas seakan tersapu oleh kekuatan ledakan tersebut. Percikan energi berterbangan, menciptakan pemandangan yang menakjubkan namun menakutkan. Debu dan serpihan puing terangkat ke udara, menutupi segalanya dalam kabut misterius.

Nathan tidak membiarkan kesempatan berlalu. Ia menghimpun energi biru cerah di telapak tangan kanannya. Energi ini mengalir dengan kuat, menandakan kekuatan yang siap dilepaskan. Dengan fokus tinggi, ia meluncurkan Ajian Brajamusti (Pukulan Petir) ke arah Mabraka. Cahaya yang memukau menyentuh langit, menciptakan kilatan yang menerangi area sekitar. Energi yang meluncur dengan kecepatan tinggi menghasilkan suara mengguntur yang menggetarkan. Serangan ini mengarah langsung ke pusat Mabraka.

Mabraka menyadari ancaman tersebut. Dengan sigap, ia menggunakan teknik "Ilusi Gelap". Beberapa salinan dirinya muncul, masing-masing menyerupai bentuk aslinya. Hal ini menciptakan kebingungan di benak Nathan. Ia tidak bisa dengan mudah menentukan mana yang asli. Semua sosok itu bergerak dengan lincah, berputar dan meluncur ke arah Nathan. Pertarungan semakin rumit, dan Mabraka bersiap untuk menyerang saat Nathan kehilangan konsentrasi.

Nathan tetap tenang. Ia memusatkan perhatian pada gerakan di sekelilingnya. Dengan teknik "Penglihatan Mata Batin", ia mulai menilai sosok-sosok tersebut. Dengan ketajaman mata, Nathan mencoba menemukan sosok Mabraka yang asli. Semua gerakan salinan terlihat serupa, tetapi ada satu yang berbeda. Setelah beberapa saat, Nathan menemukan sosok Mabraka yang nyata. Ia tidak menyia-nyiakan waktu dan langsung bersiap untuk melancarkan serangan.

Nathan melesat ke arah sosok Mabraka yang asli. Ia mengeluarkan Ajian Brajamusti (Serangan Bintang), serangkaian tendangan dan pukulan yang sangat cepat. Setiap gerakan terkoordinasi dengan baik, menghasilkan serangan yang kuat dan terarah. Mabraka, meskipun terkejut, mampu menghindar dengan gesit. Dalam keadaan berbalik, Mabraka membalas dengan "Runtuhan Energi". Gelombang energi besar meluncur ke arah Nathan, menghancurkan tanah di sekelilingnya dan mengguncang setiap sudut pertarungan.

Dengan semangat yang tak tergoyahkan, Nathan mengumpulkan energi dalam tubuhnya. Energi itu berkumpul di telapak tangannya, memancarkan cahaya yang menyilaukan. Ia siap meluncurkan Ajian Brajamusti (Pukulan Petir), serangan yang sangat kuat. Cahaya mematikan melesat cepat menuju Mabraka, menembus udara dengan suara menggelegar. Serangan ini membentuk jejak terang di langit. Nathan berharap serangan ini akan memberikan keunggulan dalam pertarungan yang semakin sengit.

Mabraka merasakan gelombang energi yang mendekat. Ia tidak terkejut. Dengan kecepatan luar biasa, ia mengangkat kedua tangannya, mempersiapkan diri menghadapi serangan yang dahsyat. Energi gelap berkumpul di sekelilingnya, membentuk perisai yang kuat. BLAAARRR...! Serangan Pukulan Petir Nathan menghantam perisai tersebut dengan suara dentuman keras, menciptakan percikan cahaya yang meliputi area sekeliling. Getaran hebat mengguncang tanah di bawah mereka, mengakibatkan puing-puing beterbangan. Mabraka tetap berdiri kokoh di tempatnya, memusatkan seluruh kekuatan untuk menahan serangan tersebut. Mata Mabraka menyala, menampilkan determinasi dan kekuatan. Energi dari serangan Nathan berusaha menembus perisai, namun Mabraka berhasil mempertahankan posisinya. Dia merasakan panas yang luar biasa dari serangan itu, tetapi ia tetap fokus.

Pertarungan antara Nathan dan Mabraka berlangsung sengit tanpa henti, masing-masing menggunakan kekuatan puncak mereka. Selama dua jam, suara dentuman dan ledakan energi menggema di seluruh alam gaib. Setiap serangan disertai cahaya yang menyilaukan dan gelombang energi yang melesat. Nathan tidak hanya mengandalkan teknik andalannya. Ia terus mengeluarkan serangan baru. Setiap gerakan dihitung, setiap keputusan diambil dengan cermat. Pukulan dan tendangan dengan kecepatan luar biasa menyapu udara. Mabraka, dengan kekuatan gelap yang mengelilinginya, membalas setiap serangan dengan teknik mematikan. Ia menciptakan gelombang kegelapan yang mengancam, berusaha membuat Nathan terhuyung. Namun, Nathan tidak menyerah. Ia mengandalkan kemampuannya untuk mengubah setiap serangan menjadi peluang. Debu dan puing-puing beterbangan di sekitar mereka.

Semakin lama, kedua pejuang semakin kelelahan. Namun, semangat tidak surut. Tanah di sekitar mereka mulai terbelah oleh kekuatan yang dihasilkan. Dalam pertarungan yang dramatis ini, Nathan dan Mabraka saling melesat, berputar, dan menghindar dengan kecepatan tinggi. Setiap serangan menghasilkan dentuman keras, menggetarkan seluruh alam gaib. Suara angin mengiris dan cahaya berpendar membuat suasana semakin mencekam. Mabraka mengumpulkan energi hitam, menciptakan tornado kegelapan yang mengelilinginya, berusaha menjebak Nathan. Di sisi lain, Nathan merespons dengan Ajian Brajamusti (Hujan Petir), melepaskan energi dalam bentuk semburan kilat yang menyambar. Keduanya terlibat dalam adu energi yang megah, cahaya dan kegelapan saling berhadapan.

Mabraka merasakan tekanan yang semakin besar. Serangan Nathan yang terus menerus membuatnya kewalahan. Energi yang dihasilkan Nathan mengalir deras, menghujam setiap pertahanannya. Mabraka berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan yang ada di dalam dirinya. Ia tahu ini adalah saat yang kritis. Dengan semua energi yang terkumpul, ia menciptakan "Tornado Energi". Pusaran besar ini berputar dengan kecepatan yang mematikan. Tornado itu menyerap kekuatan dari sekelilingnya, termasuk energi alam gaib. Mabraka berharap dengan kekuatan ini, ia bisa membalikkan keadaan.

Nathan melihat tornado yang semakin besar itu. Ia tidak gentar menghadapi ancaman tersebut. Dengan keberanian, Nathan mengaktifkan Ajian Brajamusti (Pemecah Ombak). Energi di sekelilingnya berkumpul dan membentuk gelombang yang kuat. Gelombang ini berusaha memecah pusaran Mabraka. Cahaya yang dihasilkan oleh serangan Nathan bersinar terang, menembus tengah tornado. Energi yang terlepas mengalir menembus pusaran, memberikan harapan baru bagi Nathan untuk tetap bertahan.

Serangan Mabraka tidak berhasil menyentuh Nathan. Gelombang energi dari Ajian Brajamusti memecah tornado menjadi dua. Kekuatan Mabraka yang semula menakutkan kini tampak melemah. Ia menyadari bahwa serangannya yang ampuh ternyata tidak cukup untuk mengalahkan Nathan. Dalam keadaan terdesak, Mabraka berusaha mempertahankan posisinya. Ia mengeluarkan ilusi untuk mengalihkan perhatian Nathan. Dengan harapan dapat mengelabui musuh, ia menciptakan beberapa bayangan dirinya di sekeliling Nathan. Namun, Nathan semakin fokus. Ia ingat ilmu yang diajarkan oleh Ratu Arunika. Nathan meluncurkan "Serangan Terang". Sebuah cahaya menyilaukan memancar dari telapak tangannya. Cahaya ini bukan hanya sekadar serangan, tetapi juga mengungkap kebenaran. Semua ilusi yang diciptakan Mabraka menjadi tidak berarti. Nathan melihat dengan jelas keberadaan Mabraka yang asli di tengah gelapnya ilusi.

Mabraka menyadari bahwa ilusi tidak berhasil mengelabui Nathan. Kelelahan mulai merayapi dirinya. Mabraka berusaha mengumpulkan sisa-sisa energinya. Ia mengeluarkan "Kekuatan dalam Kegelapan". Serangan ini meluncur cepat menuju Nathan, namun kekuatan serangan itu tampak berkurang. Aura gelap yang mengelilingi Mabraka tidak lagi menggetarkan tanah di sekitarnya. Serangan itu menggambarkan kondisi Mabraka yang semakin lemah. Ia tahu ini adalah salah satu peluang terakhir untuk menyerang Nathan dengan semua yang tersisa.

Nathan melihat momen ini sebagai kesempatan. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan tekad yang kuat, ia meluncurkan "Dunia yang Terbalik". Pukulan ini mengalir dengan energi yang luar biasa. Serangan ini dirancang untuk memutarbalikkan momentum lawan. Gelombang energi yang dihasilkan Nathan menghancurkan serangan Mabraka. Energi itu menghantam Mabraka dengan kekuatan yang menggetarkan, membuatnya terhempas jauh ke belakang. Tanah di sekelilingnya bergetar hebat, menciptakan dentuman yang menggemparkan alam gaib.

Mabraka terjatuh dengan keras, namun ia segera bangkit kembali. Meskipun begitu, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang jelas. Kekuatan Mabraka semakin menipis. Namun, keberanian yang tersisa di dalam dirinya memicu semangatnya. Ia mengorbankan sebagian dari energinya untuk menciptakan "Pengorbanan Energi". Serangan ini menghasilkan dorongan yang luar biasa. Energi baru terlahir dari pengorbanannya. Namun, pengorbanan ini membuatnya semakin melemah. Mabraka tahu bahwa ia bertaruh segalanya dalam serangan ini.

Nathan mengamati kondisi Mabraka yang semakin lemah. Ia memanfaatkan kesempatan ini. Nathan mengumpulkan semua energi yang tersisa dan membentuknya menjadi "Serangan Pedang Cahaya". Pedang bercahaya ini bersinar terang, siap menghantam Mabraka. Saat Nathan mengayunkan "Pedang Cahaya", cahaya itu membelah gelapnya alam gaib. Mabraka dengan gigih mengerahkan semua energinya untuk menghadapi serangan itu. Keduanya bertabrakan dalam sebuah duel energi yang megah. Ledakan cahaya dan gelombang kejut melanda sekeliling, mengubah medan pertempuran menjadi pemandangan yang menakjubkan.

Nathan dan Mabraka kembali saling menghujani satu sama lain dengan teknik dan jurus mereka. Pertarungan ini semakin intens. Suasana semakin mencekam dan dramatis, di mana cahaya dan kegelapan saling beradu. Lingkaran pertempuran ini seolah terjebak dalam waktu. Energi dari kedua petarung memancar ke segala arah. Ledakan kecil terjadi setiap kali serangan bertabrakan. Keduanya berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap serangan. Kekuatan Nathan dan Mabraka saling menantang dalam pertarungan yang tampak tidak kunjung usai.

Nathan melanjutkan pertarungan dengan Ajian Brajamusti (Hujan Petir). Ia menciptakan bola-bola petir bercahaya. Bola-bola itu meluncur deras menuju Mabraka. Setiap bola mengeluarkan suara menggelegar saat meluncur. Petir yang menyambar dengan intensitas membara membakar udara di sekitarnya. Mabraka tidak tinggal diam. Ia segera mengaktifkan "Perisai Kegelapan". Perisai itu terbentuk dari energi gelap. Energi itu menyerap bola-bola petir yang datang menghujani. Namun, cahaya dari petir membuat perisai itu bergetar hebat. Suara dentuman menggemparkan seluruh alam gaib. Energi gelap mulai retak, menunjukkan tekanan yang dialami Mabraka.

Sekitar setengah jam kemudian, Nathan mulai bisa tersenyum. Ia melihat lawannya semakin lemah. Bola-bola petirnya mulai menembus perisai yang diciptakan Mabraka. Setiap serangan yang berhasil menembus perisai memberikan kekuatan baru bagi Nathan. Kelelahan di wajah Mabraka tidak bisa disembunyikan. Meski ia belum tumbang, kekuatannya sudah pasti sangat berkurang. Nathan mempercepat serangannya. Ia tahu bahwa kemenangan semakin dekat. Serangan-serangan yang diluncurkannya semakin terarah. Ia berusaha untuk tidak memberikan celah kepada Mabraka.

Mabraka merasakan kekuatan Nathan yang semakin tidak bisa ia hadapi. Serangan petir yang diluncurkan Nathan semakin deras. Mabraka mengerahkan semua kemampuan yang tersisa, tetapi usaha itu sia-sia. Petir-petir yang menghantamnya menghasilkan suara dentuman yang menggelegar. Perisai kegelapan yang dibangunnya mulai retak. Ia merasakan tekanan yang sangat hebat saat petir-petir itu terus meluncur. Akhirnya, perisai kegelapan pecah berkeping-keping, menyisakan Mabraka dalam keadaan terjepit dan tertegun. Kegelapan yang biasa ia kendalikan kini menghilang.

Di tengah puing-puing kegelapan dan cahaya, Mabraka terjatuh ke tanah. Tubuhnya terasa lemah. Kelelahan menghimpit setiap bagian dirinya. Ia kini hanya bisa menerima serangan petir yang menghantam tubuhnya. Setiap serangan membawa dampak yang besar. Mabraka merasa tak berdaya. Kesadaran perlahan-lahan memudar. Ia sudah tidak dapat lagi melawan. Dalam keadaan terdesak, Mabraka mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan mengumpat pada nasibnya.

Tak lama, Mabraka berteriak keras saat terpental karena terkena sambaran petir. Suaranya menggema di seluruh alam gaib, “Nathan!!! Aku menyerah!!!” Seruan itu mencerminkan ketidakberdayaannya. Ia tahu bahwa pertarungan ini telah berakhir.

Nathan, melihat keadaan Mabraka yang terpuruk, segera menghentikan serangannya. Pemuda itu tidak terbawa emosi kemenangan. Ia tetap tenang dan penuh wibawa saat menjejakkan kakinya di tanah persis di samping tubuh besar Mabraka.

Mabraka mengangkat kepalanya, menatap Nathan dengan tatapan lelah. "Nathan," katanya dengan suara berat, "aku sudah kalah. Aku menyerah. Kekuatanmu jauh melampaui semua harapanku. Aku akan patuh dan tunduk kepada keputusanmu. Tidak ada lagi yang bisa kuperjuangkan. Jika ini yang kau inginkan, aku akan mendukungmu."

Nathan menatap Mabraka dengan penuh pengertian. "Mabraka," katanya dengan nada tegas namun lembut, "aku menghargai keberanianmu untuk mengakui kekalahan. Kita telah bertarung dengan segenap tenaga, dan aku mengerti betapa beratnya pertarungan ini bagimu. Tapi, kita memiliki tujuan yang sama. Bersama, kita bisa melindungi kekuatan para jin dan menciptakan keseimbangan di alam ini. Aku butuh bantuanmu, dan aku percaya kita dapat bekerja sama untuk menghadapi ancaman yang lebih besar. Mari kita bersatu demi masa depan yang lebih baik."

Mabraka menatap Nathan dengan keraguan. "Nathan, aku mendengar kata-katamu, tetapi aku masih tidak sepenuhnya mengerti. Apakah maksudmu ada ancaman di balik semua ini? Bukankah kamu adalah pewaris Gunung Brajamusti? Sebagai pewaris, sudah sepatutnya aku tunduk dan patuh padamu. Itu adalah kewajibanku sebagai makhluk yang menghormati kekuatan dan keturunan pemimpin. Aku sudah berjanji akan setia kepada pewaris yang sah. Apa pun yang terjadi, aku akan menjalankan kewajibanku itu."

Nathan menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan kepada Mabraka, "Mabraka, ada hal penting yang harus kau ketahui. Seseorang ingin menguasai Gunung Brajamusti. Dia adalah ayah tiriku. Aku tidak bisa menolak keinginannya. Aku sangat menyayangi dia, dan niatku adalah memberikan Gunung Brajamusti padanya. Namun, Ratu Arunika memberikan saran kepadaku. Dia menyarankan agar aku memisahkan emas dan kekuatan gaib dari Gunung Brajamusti. Untuk mencapai itu, aku terpaksa harus mengalahkanmu. Ini bukan karena aku ingin menghancurkanmu, tetapi demi menjaga keseimbangan dan melindungi kekuatan yang ada di Gunung Brajamusti."

Tiba-tiba, sosok anggun Ratu Arunika muncul di tengah mereka. Dengan aura yang menenangkan, ia melangkah maju dan berkata, "Nathan … Emas dan kekuatan gaib Gunung Brajamusti sudah terpisah. Proses ini berjalan sesuai rencana yang telah kita siapkan. Sekarang, keputusan ada di tanganmu." Ratu Arunika menatap Nathan dengan penuh harapan. "Apakah kau akan memberikan emas itu kepada ayah tirimu ataukah kau akan mempertahankan seluruh yang ada di Gunung Brajamusti? Ingat, pilihanmu akan menentukan nasib Gunung Brajamusti dan semua makhluk yang bergantung padanya." Suaranya lembut, tetapi mengandung bobot yang berat.

Nathan mengangguk mantap. "Aku akan memberikan Gunung Brajamusti kepada ayah tiriku. Ia telah berjuang keras untuk mencapai posisinya. Aku sangat menyayangi ayahku.”

Ratu Arunika mengamati Nathan dengan seksama. Ia memahami keputusan Nathan dan merasakan ketulusan di balik kata-katanya, "Namun, ingatlah, Nathan. Jika kamu memberikan Gunung Brajamusti kepadanya, ada kutukan yang akan mengikutinya. Ayah tirimu akan terus diwarnai oleh konflik yang tidak berkesudahan. Kekuatan yang dia inginkan tidak akan membawa kedamaian."

Nathan terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Ratu Arunika. Ia memahami bahwa keputusan ini tidak hanya berdampak pada dirinya, tetapi juga pada kehidupan ayah tirinya. "Apakah tidak ada cara untuk menghindari kutukan itu?" tanya Nathan, penuh harap.

"Setiap pilihan memiliki konsekuensi," jawab Ratu Arunika. "Kekuatan yang besar sering kali membawa beban yang berat. Jika ia menerima kekuatan tanpa kebijaksanaan, maka konflik akan menjadi bagian dari kehidupannya."

Nathan menatap Ratu Arunika dengan tekad yang menguat. "Saya tetap akan memberikan emas Gunung Brajamusti kepada ayah tiriku. Terkait kutukan itu, saya serahkan sepenuhnya kepadanya. Itu adalah pilihannya, bukan urusan saya lagi."

Ratu Arunika mengangguk pelan, memahami keputusan Nathan. "Jika itu yang kamu inginkan, maka aku akan menghormati pilihanmu. Namun, ingatlah bahwa setiap keputusan membawa tanggung jawab. Apa pun yang terjadi setelah ini, kamu harus siap menghadapi konsekuensinya."

Nathan mengangguk, merasakan beratnya beban di pundaknya. Ia tahu jalan ini tidak mudah, tetapi keyakinannya pada keputusan tersebut tak tergoyahkan. "Saya tidak takut dengan konsekuensi. Yang saya pedulikan sekarang adalah melindungi Gunung Brajamusti dan para jin."

Mabraka berdiri dengan wajah penuh penyesalan. Ia memandang Nathan dengan serius. “Sangat disayangkan keputusanmu, Nathan. Aku berharap kamu lebih memilih untuk mempertahankan warisan leluhurmu. Memberikan emas Gunung Brajamusti kepada ayah tirimu hanya akan menguntungkan dirinya. Aku yakin, jika kamu yang menguasai emas itu, maka akan lebih banyak manfaatnya bagi masyarakat.” Mabraka melanjutkan, “Kamu bukan orang yang silau dengan kekayaan. Dengan hati yang bersih, kamu dapat menggunakan harta itu untuk kebaikan bersama. Gunung Brajamusti bukan hanya sekadar tempat atau harta, tetapi simbol dari kekuatan dan kebaikan. Jika emas itu berada di tanganmu, aku percaya kamu bisa membuat perubahan besar bagi banyak orang.”

Nathan menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Aku akan memberikan nasehat kepada ayah tiriku untuk menggunakan emas Gunung Brajamusti demi kebaikan masyarakat. Aku berharap dia mau mendengarkan dan menerima masukan itu.” Nathan menatap Mabraka dengan serius. “Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi, ini adalah keputusan yang harus aku ambil. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk memastikan emas itu digunakan dengan bijaksana. Jika ada cara untuk membuat ayah tiriku memahami pentingnya hal ini, aku akan melakukannya. Aku ingin mewariskan kekuatan dan keadilan, bukan sekadar harta. Harapanku adalah emas itu dapat membantu banyak orang, meskipun kini akan berada di tangan ayah tiriku.”

Tiba-tiba, dari tubuh Mabraka keluar asap hitam pekat. Asap itu berputar dan mengalir, membentuk pola yang menakjubkan. Dalam sekejap, asap itu berubah wujud menjadi sebuah pakaian kerajaan yang megah. Pakaian tersebut berwarna hitam dan emas, dihiasi dengan motif rumit yang menunjukkan simbol-simbol kekuatan dan kebijaksanaan.

Mabraka, dengan tatapan penuh keyakinan, mengarahkan pandangannya kepada Nathan. Suaranya menggetarkan saat ia berbicara, “Nathan, kenakanlah pakaian kerajaan ini. Pakaian ini adalah simbol bahwa kau adalah penguasa Gunung Brajamusti yang baru. Baju ini melambangkan kepemimpinanmu terhadap seluruh jin yang ada di sini. Ini adalah pengingat bagi semua jin bahwa kau adalah pemimpin yang ditunjuk.”

Nathan kemudian mengambil pakaian kerajaan yang disodorkan oleh Mabraka. Begitu pakaian berpindah tangan, sesuatu menakjubkan terjadi. Pakaian itu berubah menjadi asap hitam pekat. Asap melingkupi tubuh Nathan. Perlahan, asap hitam seakan masuk ke dalam tubuhnya. Asap itu menyatu dengan dirinya. Nathan merasakan aliran energi baru mengisi setiap serat tubuh.

“Sekarang Tuan adalah pemimpin kami. Jika Tuan membutuhkan kami, Tuan tinggal memanggil para jin Gunung Brajamusti untuk datang dan mereka pasti datang,” jelas Mabraka dan tiba-tiba saja jin itu menghilang.

Ratu Arunika menatap Nathan dengan penuh harapan. Ia berkata bahwa misi Nathan telah selesai. Dengan suara lembut, Ratu Arunika meminta Nathan untuk segera kembali ke dunianya. Belum sempat Nathan menjawab, tiba-tiba pandangannya menjadi gelap gulita. Ia merasa seolah-olah ditarik ke dalam kegelapan yang mendalam. Sesaat kemudian, cahaya mulai menyinari penglihatannya kembali, dan saat pandangannya kembali jelas, ia mendapati dirinya sudah berada di depan makam keramat Ratu Arunika. Nathan berdiri terpaku, mengenang semua pengalaman yang baru saja dilaluinya.

Nathan segera keluar dari area pemakaman Ratu Arunika. Udara malam terasa sejuk. Ia melangkah cepat menelusuri jalan desa yang mengarah ke lapangan tempat dia mendarat tadi petang. Gelap menyelimuti sekeliling, hanya cahaya bulan yang memantul di permukaan tanah. Langkah demi langkah, Nathan menyusuri lereng Gunung Brajamusti. Setelah berjalan selama dua puluh menit, ia melihat sesuatu di kejauhan. Nathan melihat kerumunan orang. Mereka berkumpul di sekitar sebuah pohon tua yang sangat besar. Pohon itu menjulang tinggi ke langit malam. Daunnya lebat dan rimbun. Dalam keremangan, tampak sosok-sosok bergerak. Orang-orang tersebut berdiri dalam lingkaran, sepertinya sedang berdoa atau melakukan ritual tertentu. Suara lirih menggema di antara mereka.

Nathan merasa tertarik dengan pemandangan itu. Penasaran, Nathan menghampiri kerumunan tersebut. Ia berjalan perlahan agar tidak mengganggu suasana. Nathan memperhatikan wajah-wajah penuh harapan dan keyakinan. Ia ingin memahami apa yang terjadi di depan matanya. Rasa ingin tahunya semakin mendalam, mendorong pemuda itu untuk berada lebih dekat. Nathan berdiri dekat kerumunan. Bau dupa tercium kuat di udara malam. Suara-suara lembut melantunkan doa dalam bahasa kejawen. Melodi ritual itu mengalun sederhana. Suasana khusyuk dan serius mengisi ruang di sekelilingnya.

“Mas, bukan orang sini, ya?” Seseorang menyapa Nathan dari arah samping dengan suara pelan, seperti sedang berbisik.

“Oh iya, benar.” Nathan membalas dengan suara pelan. “Mereka sedang apa?” Nathan bertanya kepada orang di sampingnya tanpa menoleh.

“Mereka sesepuh kampung ini. Mereka sedang berusaha membuka gerbang gaib,” jawab orang di samping Nathan dengan suara rendah.

Nathan terkejut mendengar penjelasan itu. Ia menatap orang di sampingnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Gerbang gaib apa?” tanyanya.

“Masyarakat di sini menyebutnya Gerbang Nakaratmak. Gerbang yang bisa membuka kemakmuran masyarakat sekitar,” jawab orang tersebut.

Nathan terdiam, pikirannya berputar cepat mendengar nama yang diucapkan orang asing itu. Keningnya berkerut, mengingat percakapan terakhirnya dengan Ratna yang pernah memohon padanya untuk membuka gerbang tersebut. Permintaan itu terasa aneh baginya, tetapi kini, di hadapannya, masyarakat desa ini tampak bersatu dalam keyakinan dan harapan yang sama: membuka Gerbang Nakaratmak demi kemakmuran mereka.

"Gerbang Nakaratmak..." gumam Nathan pelan, hampir tak terdengar.

Orang di sampingnya mengangguk pelan, "Gerbang itu sudah lama ditutup oleh leluhur kami," lanjutnya, sambil menatap ke arah pohon besar di tengah kerumunan. "Tapi masyarakat percaya bahwa dengan membukanya, kami bisa hidup makmur. Tidak ada lagi kelaparan, tidak ada lagi kesulitan. Namun, hanya orang yang memiliki darah keturunan dari Gunung Brajamusti yang bisa membukanya."

Sementara suara lantunan doa semakin jelas, Nathan memandang pohon besar yang tampak berusia ribuan tahun. Masyarakat terus berdoa, berharap dan menanti. Ada keyakinan kuat di mata mereka, tapi Nathan juga tahu akan bahaya yang tersembunyi. Energi negatif dari Gerbang Nakaratmak dapat merusak tatanan moral masyarakat. Sekali terbuka, godaan dan keburukan dari gerbang itu bisa menghancurkan kehidupan mereka dari dalam.

Di tengah suasana tersebut, tiba-tiba seorang pria tua dari barisan belakang bergerak maju. Langkahnya tertatih, namun matanya menatap Nathan dengan intensitas yang luar biasa. Dengan sorot mata tajam, pria itu memperhatikan cincin di jari Nathan. Kerumunan mulai memperhatikan pergerakan pria tua itu. Beberapa orang saling berbisik, heran dengan perubahan suasana. Pria tua itu berhenti tepat di depan Nathan, napasnya terdengar berat. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia mengulurkan tangannya dan menunjuk cincin yang melingkar di jari Nathan.

Seseorang dari kerumunan mendekat, suara lirih terdengar. "Apakah itu benar? Dia... keturunan Prabu Brajamusti?"

Bisikan itu mulai menjalar di antara orang-orang. Mata-mata yang tadinya penuh harapan kini berubah, sebagian besar di antaranya menunjukkan rasa hormat yang mendalam, tetapi ada juga yang mulai cemas. Mereka tahu bahwa hanya keturunan langsung Prabu Brajamusti yang memiliki wewenang untuk membuka Gerbang Nakaratmak. Dan Nathan, tanpa ia sadari, kini memegang kunci untuk takdir mereka.

Pria tua itu berlutut di depan Nathan, tangannya gemetar saat mencoba menyentuh ujung cincin di jari pemuda itu. "Selama bertahun-tahun... kami menunggu. Hanya keturunan Brajamusti yang bisa membuka gerbang. Cincin itu adalah tanda. Kau adalah pewarisnya," katanya dengan suara penuh keyakinan, seolah Nathan adalah sosok yang dinanti sepanjang hidupnya.

Nathan mundur selangkah, jantungnya berdebar keras. Ia belum siap untuk menghadapi ini, tapi sekarang, seluruh desa seakan mengarah kepadanya. Orang-orang mulai membungkuk hormat, melantunkan doa-doa baru, menyebut-nyebut nama leluhur, Prabu Brajamusti. Dalam hati, Nathan merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Ia telah tumbuh dengan warisan yang misterius, hidup di luar pengetahuan tentang siapa dirinya sebenarnya. Namun kini, cincin yang melingkar di jarinya ternyata lebih dari sekadar peninggalan. Ia adalah simbol kekuasaan, penanda pewaris Prabu Brajamusti. Namun, bersama dengan pengakuan itu, ada ketakutan yang menjalar. Gerbang Nakaratmak. Jika ia membuka gerbang itu, ia tidak hanya akan membawa kemakmuran bagi masyarakat ini, tetapi juga kemungkinan besar menghancurkan mereka dengan godaan energi negatif yang bisa merusak moral mereka.

Pria tua itu berdiri dengan susah payah, tatapannya masih terpaku pada Nathan. "Tuan adalah satu-satunya yang bisa membuka gerbang itu... takdir kami ada di tangan Tuan."

Nathan merasa udara semakin berat di sekelilingnya. Mata orang-orang yang penuh harapan membuatnya sadar bahwa mereka sangat bergantung padanya. Namun di balik tatapan mereka, Nathan bisa merasakan bayangan kelam yang terus mengintai dari Gerbang Nakaratmak.

Nathan menggenggam erat cincin di jarinya. “Apa yang harus aku lakukan?” pikirnya dalam hati. Hati pemuda itu terombang-ambing antara keinginan untuk membantu masyarakat dan ketakutan akan konsekuensi dari kekuatan gelap yang terkandung di dalam gerbang tersebut.

Nathan merasa tubuhnya mulai gemetar. Di hadapannya, masyarakat terus berdoa, meminta berkah dari leluhurnya. Tapi dalam hatinya, Nathan tahu bahwa keputusan ini lebih dari sekadar membuka pintu kemakmuran. Itu adalah pertarungan antara cahaya dan kegelapan, antara kesejahteraan dan kehancuran.

Dari tengah kerumunan, seorang pria paruh baya melangkah maju. Wajahnya keriput, namun matanya penuh harapan dan keyakinan. Dia mengenakan kain batik sederhana, mencerminkan kesehariannya sebagai petani.

"Tuan adalah keturunan Prabu Brajamusti. Tuan memiliki kuasa untuk membuka Gerbang Nakaratmak," katanya, suaranya penuh permohonan. "Kami sudah hidup dalam kesulitan terlalu lama. Kami tahu risikonya, tapi tolong... kemakmuran yang ada di dalam gerbang itu akan mengubah hidup kami."

Nathan menatap pria itu, perasaan tak menentu memenuhi dirinya, "Aku tahu apa yang kalian inginkan," jawab Nathan, suaranya sedikit bergetar, "tapi kalian juga harus tahu bahwa Gerbang Nakaratmak tidak hanya membawa kemakmuran. Di dalamnya terkandung energi gelap yang bisa menghancurkan moral kita semua. Jika gerbang itu terbuka, bukan hanya kemakmuran yang akan keluar... tetapi juga keburukan yang tak terbayangkan."

Kerumunan itu diam sejenak, lalu seorang wanita dari sisi lain bersuara. "Kami sudah memikirkan hal itu, tapi apa pilihan lain yang kami punya? Bertahun-tahun kami hidup dalam kemiskinan. Anak-anak kami kelaparan, lahan-lahan pertanian kering. Kalau gerbang itu membawa sedikit keburukan, kami rela menanggungnya asal kemakmuran datang bersama."

Nathan menggeleng, mencoba menahan desakan yang makin kuat. "Kalian tidak mengerti seberapa besar risiko ini. Energi gelap dari gerbang itu bisa menghancurkan tatanan moral kita. Kita bisa terjebak dalam keserakahan, hawa nafsu, bahkan kehancuran.”

"Apakah Tuan tidak melihat penderitaan kami?" ujar pria tua yang tadi berbicara. "Kami sudah hidup dalam kekurangan sepanjang hidup kami. Apa yang bisa lebih buruk dari ini? Jika membuka gerbang itu bisa memberikan sedikit harapan, sedikit rejeki untuk kami, bukankah itu layak dicoba?"

"Kalian mungkin berpikir kemiskinan adalah hal terburuk yang bisa terjadi," Nathan berkata. "Tapi aku katakan pada kalian, ada sesuatu yang lebih buruk. Jika kita kehilangan moral, jika kita terjebak dalam godaan dan keserakahan yang tak terkendali, itu bisa menghancurkan kita dari dalam. Aku tidak hanya ingin menyelamatkan tubuh kalian, tetapi juga jiwa kalian."

Suara lantang seorang pemuda di kerumunan memecah kebisuan. "Tuan adalah harapan kami! Kami tak punya pilihan lain! Kami tahu risiko itu, tapi kami percaya pada kekuatan Tuan. Tuan bisa menjaga kami, bukan? Tuan bisa mengendalikan gerbang itu, menjaga agar energi negatifnya tidak menguasai kami."

Nathan menunduk sejenak, merasakan beban yang luar biasa di pundaknya. Mereka semua begitu percaya padanya. Namun, dalam hatinya, Nathan tahu bahwa sekali Gerbang Nakaratmak terbuka, tidak ada jaminan bahwa ia atau siapa pun bisa menghentikan kekuatan gelap yang keluar.

"Aku ingin membantu kalian... sungguh," Nathan mengangkat wajahnya dan menatap kerumunan itu, "tapi kekuatan gerbang itu terlalu besar. Bahkan aku, yang mewarisi kekuatan Prabu Brajamusti, tidak bisa menjamin bahwa aku akan mampu mengendalikannya sepenuhnya."

Masyarakat terdiam, sebagian masih berharap, sementara yang lain mulai ragu. Namun, seorang sesepuh yang mengenakan pakaian adat maju ke depan. Wajahnya tenang, penuh dengan kebijaksanaan.

"Tuan, pewaris Brajamusti," katanya pelan namun penuh kekuatan, "tak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi jika gerbang itu dibuka. Kami hanya bisa berharap dan berdoa. Tapi satu hal yang pasti, kami butuh harapan. Harapan yang sudah hilang dari hidup kami selama bertahun-tahun. Jika gerbang itu membawa keburukan, kami percaya Tuan akan membantu kami melawannya."

Nathan menatap sesepuh itu dengan perasaan dilematis. Di satu sisi, ia melihat keyakinan masyarakat, bahwa mereka benar-benar menggantungkan masa depan mereka padanya. Namun di sisi lain, ia juga tahu bahaya nyata yang mengintai dari dalam Gerbang Nakaratmak.

Akhirnya, Nathan menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak bisa membuat keputusan ini sendirian," katanya, suaranya tegas. "Ini adalah pilihan yang harus kita buat bersama, sebagai masyarakat. Kalian semua harus memahami risikonya, dan jika kita memutuskan untuk membuka gerbang itu, kita harus siap menghadapi segala konsekuensinya, baik maupun buruk."

Sesepuh itu menatap Nathan dengan tatapan yang dalam dan penuh pengertian. Langkahnya perlahan mendekat, suara lembutnya kembali terdengar, namun kali ini dengan nada yang lebih menenangkan. "Pewaris Brajamusti, kami memahami kekhawatiranmu," katanya dengan bijak. "Namun, ingatlah bahwa kekuatan yang ada pada gerbang itu tidak sepenuhnya di luar kendali. Jika dampak dari gerbang tersebut membawa kehancuran, Tuan memiliki kuasa yang sama untuk menutupnya kembali. Gerbang Nakaratmak bisa dibuka, dan ia pun bisa ditutup lagi."

Nathan mendengar dengan seksama, matanya tidak lepas dari wajah sesepuh tersebut. Harapannya bahwa ada jalan tengah mulai mengisi pikirannya, meski tetap saja ia masih merasa gentar akan kemungkinan buruk yang bisa terjadi.

"Kami tahu risikonya," lanjut sesepuh itu, suaranya mengalun lembut namun penuh keyakinan. "Tapi kami juga tahu, dengan kekuatan Tuan dan kebijaksanaan leluhur yang mengalir dalam darah Taun. Tuan bisa mengendalikan situasi ini. Andai kegelapan dari gerbang itu mulai menelan kami, kami percaya Tuan tidak akan ragu untuk menutupnya kembali. Dan kami sebagai masyarakat, akan menganggap ini sebagai ujian. Kami akan menjaga moral kami, menjaga tatanan kami, agar godaan yang mungkin keluar dari gerbang tidak menguasai hati kami."

Nathan terdiam, merenungkan kata-kata bijak itu. Sesepuh itu berbicara tidak hanya untuk memberi harapan, tapi juga untuk mengingatkan bahwa keputusan ini bukanlah akhir dari segalanya. Bahwa kekuatan untuk membuka dan menutup gerbang ada di tangannya. Lebih dari itu, sesepuh tersebut ingin masyarakat turut menjaga tatanan moral mereka, agar tidak terjebak dalam kehancuran.

"Kami hanya membutuhkan kesempatan," tambah sesepuh itu dengan lembut. "Kesempatan untuk bangkit dari kemiskinan, kesempatan untuk hidup lebih baik. Dan kami akan menjaga diri kami, menjaga tatanan moral kami, agar tidak terjebak dalam kegelapan. Tapi jika kami gagal, kami percaya pada Tuan, pewaris Brajamusti. Tuan bisa menutup gerbang itu dan melindungi kami."

Nathan mengangguk pelan, mulai memahami sudut pandang sesepuh tersebut. Kata-kata itu menenangkan pikirannya, mengurangi keraguannya. Ia merasa tanggung jawab ini tidak sepenuhnya di luar kendali. Ada jalan kembali jika semuanya menjadi berantakan, dan yang terpenting, masyarakat akan turut serta menjaga keseimbangan tersebut. Nathan menarik napas dalam, merasakan keberanian perlahan tumbuh di dalam dirinya. Ia menatap cincin Brajawali yang melingkar di jarinya, lalu mengarahkan pandangannya kembali pada sesepuh dan kerumunan di sekelilingnya.

"Baik," katanya, suaranya kini lebih mantap. "Aku akan membuka Gerbang Nakaratmak. Tapi ingatlah, ini bukan hanya tentang kekuatan atau kemakmuran. Ini tentang tanggung jawab kita semua. Aku bisa membuka gerbang itu, tapi kalian semua harus berjanji untuk menjaga moral dan hati kalian, agar godaan dari gerbang itu tidak merusak kita."

Kerumunan itu terdiam sejenak, lalu terdengar bisikan-bisikan setuju. Orang-orang mulai mengangguk, sebagian meneteskan air mata harapan. Sesepuh itu tersenyum tipis, lalu berbicara mewakili seluruh masyarakat.

"Kami berjanji, pewaris Brajamusti. Kami akan menjaga diri kami, menjaga tatanan moral kami. Dan jika kita tergelincir dalam kegelapan, kami percaya Tuan akan melindungi kami."

Nathan menatap masyarakat dengan perasaan antara tanggung jawab besar yang kini dipikulnya dan keyakinan bahwa, setidaknya untuk saat ini, ia membuat keputusan yang benar. Dengan tangan gemetar, Nathan mengarahkan tubuhnya ke arah pohon tua yang menjadi pusat ritual mereka. Energi di sekelilingnya terasa semakin kuat, seolah-olah Gerbang Nakaratmak sudah merespon kehadirannya. Dia berdiri tegak, lalu dengan satu gerakan tegas, ia mengangkat tangannya, membiarkan kekuatan cincin Brajawali mengalir keluar, beresonansi dengan energi gaib di sekitar Gunung Brajamusti. Nathan lalu memejamkan mata sejenak, hatinya penuh keraguan namun juga dipenuhi oleh keinginan untuk membantu. Dalam keheningan malam, ia menundukkan kepala, memohon kepada leluhurnya.

"Wahai para leluhurku, Prabu Brajamusti," Nathan berdoa dalam hati, suaranya bergetar. "Aku, Nathan, pewaris darahmu, memohon izin untuk membuka Gerbang Nakaratmak. Aku memahami bahaya dan risiko dari keputusan ini, namun aku melakukannya demi kesejahteraan masyarakat ini, yang telah lama hidup dalam penderitaan. Berikan aku kekuatan dan perlindungan untuk menunaikan tugas ini. Jika aku melangkah terlalu jauh, bimbinglah aku kembali ke jalan yang benar."

Di saat Nathan menengadah, angin mendadak berhembus kencang. Suara alam seakan merespon panggilannya. Rerumputan dan dedaunan di sekitar pohon besar itu bergetar, dan bulan di atas kepala tampak lebih terang, seolah menjadi saksi ilahi dari prosesi gaib ini. Langit malam berubah seakan bernapas dengan energi mistis. Nathan bisa merasakan kehadiran sesuatu, entitas yang lebih besar daripada dirinya, para leluhur yang mendengar doanya.

Tiba-tiba, suara yang dalam dan bergema muncul dalam benak Nathan, bukan melalui kata-kata, melainkan perasaan dan pengetahuan yang meresap ke dalam jiwanya. "Wahai keturunanku... jika ini adalah pilihanmu, maka laksanakanlah dengan penuh tanggung jawab. Tapi ingat, setiap tindakan membawa konsekuensi. Jika jalan ini yang kau pilih, kami akan mendukungmu. Tapi berjanjilah untuk menutup gerbang jika kegelapan terlalu kuat menguasai hati manusia."

Nathan membuka matanya perlahan. Hatinya kini lebih mantap. Dia mengangguk pelan, menerima pesan dari leluhurnya. "Aku berjanji, wahai leluhurku," gumamnya pelan namun tegas, suaranya penuh keyakinan.

Dengan satu gerakan penuh khidmat, Nathan mengangkat kedua tangannya, merasakan energi dari cincin Brajawali yang kini sepenuhnya bangkit. Cahaya tipis berwarna kebiruan mulai bersinar dari cincin itu, semakin kuat seiring ia memusatkan pikirannya pada Gerbang Nakaratmak. Getaran di tanah semakin kuat, seperti jantung gunung itu sendiri berdenyut seirama dengan energi yang ia keluarkan.

Nathan mengarahkan tangannya ke arah pohon tua, jari-jarinya terbuka lebar, dan seketika, sinar cahaya kebiruan melesat dari cincin tersebut, menghubungkan dirinya dengan kekuatan magis dari Gunung Brajamusti. Di bawah pohon tua itu, tanah mulai bergetar, retakan halus terbentuk, dan perlahan-lahan, cahaya merah tua yang berkilauan mulai merembes keluar dari dalam tanah.

Terdengar suara aneh, seperti suara derak pintu besar yang perlahan dibuka. Tanah di bawah pohon terbelah, membentuk sebuah gerbang yang besar dan berornamen kuno, bersinar dengan cahaya mistis merah keunguan. Gerbang Nakaratmak mulai terbuka. Udara di sekitar mereka bergetar, dan energi dari gerbang tersebut memancar keluar, membawa serta hawa panas yang menekan. Rasa kekuatan tak terlukiskan memenuhi seluruh ruang, menekan jiwa setiap orang yang ada di sana.

Masyarakat yang menyaksikan prosesi itu mulai gemetar. Ada yang menundukkan kepala, memohon ampunan, sementara yang lain menatap gerbang dengan mata penuh harap, seakan kemakmuran yang mereka impikan hampir bisa mereka raih. Namun, Nathan bisa merasakan sisi lain dari energi ini, suatu kekuatan yang mendorong dan menarik sekaligus, antara cahaya dan kegelapan, antara kemakmuran dan kehancuran.

Nathan menguatkan hati. "Gerbang ini... adalah harapan sekaligus ujian bagi kita semua," gumamnya dalam hati, memastikan bahwa kekuatan dari cincin Brajawali tetap terkendali.

Ketika gerbang terbuka sepenuhnya, angin kencang berhembus dari dalam, membawa suara gaib yang entah dari mana asalnya. Cahaya merah keunguan berputar-putar di sekitarnya, mengirimkan aura yang aneh, menyihir siapa pun yang melihatnya. Namun, di balik semua itu, ada secercah cahaya putih, lemah namun nyata, seakan ada keseimbangan di dalam gerbang tersebut, baik dan buruk bercampur menjadi satu.

Nathan menarik napas dalam-dalam dan menurunkan tangannya perlahan. "Gerbang Nakaratmak sudah terbuka," ujarnya kepada masyarakat yang masih terpaku, "dan kini, tanggung jawab ada di tangan kita. Aku akan mengawasi, tapi kalian semua juga harus menjaga hati dan pikiran kalian agar tidak terjebak dalam godaan dari energi negatif yang keluar."

Sesepuh desa maju mendekat, menundukkan kepala dengan rasa hormat. "Kami berterima kasih, pewaris Brajamusti. Kami berjanji akan menjaga janji kami. Jika godaan itu datang, kami akan tetap setia pada moral dan tatanan yang sudah kita bangun. Dan jika kami gagal, kami percaya Tuan akan melindungi kami dari kehancuran."

Nathan menatap gerbang yang bersinar di hadapannya dengan campuran perasaan lega dan ketakutan. Di balik janji kemakmuran, ia tahu bahwa tantangan besar menanti mereka semua. Tapi untuk saat ini, keputusan sudah dibuat.

"Semoga ini menjadi awal yang baru untuk kita semua..." bisik Nathan dalam hati, saat ia memandang masyarakat yang mulai melangkah mendekati gerbang dengan penuh harapan.

Nathan mengamati gerbang yang menjulang di hadapannya, sebuah celah yang menganga, memancarkan kegelapan pekat yang hampir tak tertembus mata. Cahaya merah keunguan yang sebelumnya menyala, kini seolah meredup di dalam kedalaman itu. Pemuda itu menyadari bahaya yang ada di balik pintu tersebut bukan hanya ancaman gaib, tapi juga ketertarikan yang akan membelenggu hati manusia. Gerbang Nakaratmak, dengan kekuatan luar biasa yang memancar darinya, seakan bisa mempengaruhi siapa pun yang memandangnya terlalu lama.

Nathan menggenggam cincin Brajawali erat-erat, merasakan energi dari leluhurnya yang mengalir dan memberikan keberanian. Dia menarik napas panjang, menatap gerbang dengan tekad yang semakin bulat. Dia harus melindungi masyarakat dari daya tarik kegelapan ini. Dengan langkah tenang, Nathan mendekati sisi kiri gerbang, lalu mulai mengucapkan mantra kuno, memanggil penunggu gaib yang menjaga Gunung Brajamusti.

"Wahai para penunggu alam, jin penjaga Gunung Brajamusti..." suaranya berbisik rendah namun penuh khidmat, "aku, Nathan, pewaris Prabu Brajamusti, memanggil kalian untuk meminta bantuan dalam menyembunyikan Gerbang Nakaratmak ini. Jauhkan pandangan manusia darinya, agar tidak ada yang tergoda oleh kekuatan di baliknya."

Sekejap suasana berubah. Suara gemerisik terdengar dari pepohonan di sekitar gunung, dan angin malam yang semula tenang mendadak bertiup lebih kencang. Daun-daun berguguran, beterbangan di udara dalam pusaran yang mengelilingi gerbang. Di antara kabut yang mulai menyelimuti puncak gunung, sesosok bayangan tinggi muncul, semakin jelas di hadapan Nathan. Sosok itu adalah jin penunggu gunung, yang bertubuh besar dan memiliki mata tajam berwarna hijau zamrud. Tubuhnya berbalut jubah gelap yang berkibar tertiup angin.

Nathan menyadari bahwa hanya dirinya yang dapat melihat sosok gaib ini; bagi masyarakat yang berkumpul di sekitarnya, bayangan itu hanyalah angin malam yang bertiup. Mereka tetap terfokus pada pohon besar tempat ritual berlangsung, tidak menyadari bahwa sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Hanya bisikan angin dan desahan daun yang mereka dengar, sementara perbincangan antara Nathan dan jin itu tersimpan dalam dunia yang terpisah, seolah-olah mereka sedang berkomunikasi di dimensi lain.

"Tuanku, aku mendengarmu," ujar jin itu dengan suara dalam yang menggema di antara pepohonan.

Nathan mengangguk hormat, berusaha menenangkan diri di hadapan sosok gaib sang penunggu gunung ini. "Aku mohon padamu, wahai penunggu gunung, selubungi gerbang ini dari pandangan orang-orang, agar mereka tidak tergoda oleh kegelapan yang ada di dalamnya."

Jin itu menatap Nathan dengan tatapan penuh pengertian. "Aku akan melakukan seperti yang kau pinta, pewaris Brajamusti. Namun ketahuilah, energi dari Gerbang Nakaratmak sangat kuat, dan penutup yang aku buat mungkin tidak akan bertahan selamanya. Jika hasrat manusia yang menginginkannya terlalu besar, pelindung ini akan melemah."

Nathan mengangguk, memahami peringatan dari jin tersebut. "Aku mengerti, dan aku berjanji akan mengawasi masyarakat. Aku akan memastikan bahwa tidak ada yang mencoba mendekat ke gerbang ini, dan jika kekuatan gerbang mulai tak terkendali, aku akan mengambil tindakan."

Tanpa berkata lebih lanjut, jin penunggu itu mengangkat kedua tangannya ke udara. Sebuah kabut tebal berwarna kelabu tiba-tiba muncul dari tanah, menyelimuti gerbang tersebut perlahan. Kabut itu begitu pekat, menciptakan dinding tak kasatmata yang menyelimuti gerbang sepenuhnya, sehingga tidak terlihat apa pun di baliknya. Begitu kabut menutupi gerbang, sinar merah keunguan pun menghilang, menyatu dengan kegelapan malam.

Sosok jin itu berbalik menatap Nathan sekali lagi. "Ingatlah, Tuanku. Tanggung jawabmu sebagai pewaris Brajamusti lebih dari sekadar membuka atau menutup gerbang ini. Jagalah hati masyarakat, karena kegelapan terbesar kadang muncul dari dalam diri manusia sendiri."

Nathan mengangguk dalam-dalam, menyadari beban yang ia emban lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. "Aku berjanji akan menjaga mereka sebaik mungkin."

Sosok jin itu perlahan memudar, kabut pun mulai meresap ke dalam bumi, meninggalkan suasana sunyi yang menenangkan di sekitar Nathan. Gerbang Nakaratmak kini tersembunyi dari pandangan, terselubung oleh pelindung gaib. Hanya Nathan yang dapat merasakannya, dan ia tahu bahwa tugas untuk menjaga rahasia ini kini sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.

Sang sesepuh, dengan kerut di wajahnya melangkah maju. "Tuan Nathan," katanya, suaranya bergetar penuh rasa ingin tahu, "apa yang terjadi dengan gerbang yang baru saja Tuan buka? Mengapa tiba-tiba menghilang?"

Nathan menatap sesepuh itu dengan penuh rasa tanggung jawab. "Aku menghilangkan gerbang itu sengaja," jawabnya tegas. "Aku tahu betapa besarnya daya tarik yang dimiliki gerbang ini. Jika dibiarkan, akan ada banyak orang yang datang dan terpengaruh oleh energi negatif di baliknya."

Sesepuh itu mengangguk, memahami keputusan Nathan. "Kami percaya pada keputusan pewaris Brajamusti. Namun, bagaimana jika ada yang ingin mencarinya? Apa yang harus kita lakukan?"

Nathan mengambil napas dalam-dalam, merasakan berat tanggung jawab yang diembannya. "Karena itu, aku memohon padamu, sebagai sesepuh dan pemimpin masyarakat, untuk menjaga area ini. Jangan biarkan siapa pun datang ke sini tanpa tujuan yang jelas."

"Berita tentang gerbang ini sudah cukup menular di kalangan masyarakat. Mereka yang tidak mengerti mungkin akan datang mencari," sesepuh itu berujar. "Tapi kami akan melindungi tempat ini. Kami akan menjaga kerahasiaannya demi keselamatan semua."

Nathan tersenyum lega. "Terima kasih. Dengan perlindunganmu, aku yakin kita dapat menjaga masyarakat dari ancaman yang tidak terlihat."

Setelah itu, sesepuh melangkah kembali ke kerumunan, memberikan isyarat kepada yang lain. "Mari kita kembali ke rumah masing-masing," katanya. "Saatnya untuk pulang."

Masyarakat pun mulai beranjak, meresapi keheningan malam dengan perasaan campur aduk. Mereka berjalan pulang, masing-masing membawa harapan. Nathan berdiri sejenak, menatap ke arah pohon besar tempat ritual itu berlangsung. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa pertempuran baru saja dimulai. Dengan Gerbang Nakaratmak yang kini tersembunyi, tugasnya untuk melindungi masyarakat dari kegelapan baru saja dimulai.

Ketika kerumunan mulai membubarkan diri, sesepuh yang telah berbicara dengan Nathan kembali mendekatinya. “Tuan … Saya ingin mengajak Tuan untuk berkunjung ke rumah saya. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang apa yang terjadi malam ini dan masa depan masyarakat kita.”

Nathan merasa terharu mendengar ajakan itu. Dalam hatinya, ia menyadari betapa pentingnya dukungan dari orang-orang bijak seperti sesepuh ini. “Tentu, saya akan senang hati,” jawab Nathan dengan penuh rasa hormat. “Ada banyak yang ingin saya diskusikan dengan Bapak juga.”

Mereka berdua mulai berjalan menyusuri jalan desa yang kini sepi, hanya diterangi cahaya bulan. Suasana malam begitu damai, tetapi hati Nathan masih bergetar penuh dengan perasaan yang tak menentu. Sesepuh itu berjalan di sampingnya, sesekali menatap Nathan dengan penuh perhatian.

“Tuan,” ujar sesepuh itu setelah beberapa saat, “apa yang Tuan lakukan malam ini adalah tindakan yang berani. Banyak yang tidak akan mampu menghadapi tanggung jawab sebesar itu. Tapi, kita perlu bersiap untuk segala kemungkinan.”

Nathan mengangguk, menyadari sepenuhnya akan beratnya keputusan yang telah diambilnya. “Saya tahu, dan saya akan melakukan yang terbaik untuk menjaga masyarakat ini. Tapi, saya juga ingin mendapatkan bimbingan dari Bapak, agar tidak salah langkah.”

Sesepuh itu tersenyum, senyumnya menandakan rasa bangga dan pengertian. “Itulah yang ingin Bapak bahas. Kita perlu menyiapkan masyarakat kita menghadapi tantangan yang mungkin akan datang. Dalam melindungi mereka, kita harus membekali mereka dengan pengetahuan dan kekuatan moral.”

Mereka tiba di depan rumah sesepuh setelah menempuh perjalanan yang terasa panjang di malam yang tenang. Bangunan sederhana itu memancarkan nuansa tradisional yang kental. Terbuat dari kayu, dengan atap genting yang memberikan kesan hangat dan akrab. Dindingnya dihiasi ukiran-ukiran yang menggambarkan sejarah desa dan leluhur mereka.

“Masuklah,” ajak sesepuh itu, membuka pintu dan memperkenalkan Nathan ke dalam rumahnya. Aroma rempah-rempah memenuhi udara, bercampur dengan aroma dupa yang menyegarkan. Terdapat sebuah meja kayu besar di tengah ruangan dipenuhi dengan berbagai hidangan sederhana.

“Silakan, nikmati hidangan ini. Sambil makan, kita bisa berbicara lebih banyak,” ujar sesepuh itu sambil menyiapkan makanan. Nathan merasa sangat dihargai. Ia duduk di meja, menyantap hidangan dengan penuh rasa syukur.

Malam itu, di bawah cahaya lampu, mereka berbincang tentang banyak hal, tentang sejarah desa, tentang hubungan antara leluhur dan generasi kini, serta tentang tanggung jawab yang harus mereka jalankan untuk menjaga masyarakat dari ancaman yang tidak terlihat.

Setelah beberapa saat berbincang, Sang Sesepuh menatap Nathan dengan penuh perhatian. “Anakku, sebelum kita melanjutkan, bolehkah Bapak tahu siapa namamu?”

Nathan tersenyum, “Nama saya Nathan,” jawabnya, menundukkan kepala dengan hormat. “Saya merasa terhormat bisa berada di sini, di hadapan Bapak, sesepuh desa.”

“Nama saya Ki Suroto,” balas sesepuh itu, menatap Nathan dengan tatapan penuh rasa hormat.

“Senang berkenalan dengan Bapak,” respon Nathan.

Nathan dan Ki Suroto melanjutkan perbincangan mereka, membahas masa depan desa setelah pembukaan Gerbang Nakaratmak. Dalam suasana yang hangat dan penuh harapan, Nathan merasakan tanggung jawab yang semakin besar di pundaknya. Ki Suroto dengan bijaksana menguraikan visi untuk membangun masyarakat yang lebih baik, di mana nilai-nilai luhur dijaga dan dikembangkan meski ada godaan yang mengintai. Mereka membayangkan masa depan di mana masyarakat bisa memanfaatkan kekuatan positif dari gerbang tersebut, sambil tetap waspada terhadap bahaya yang mungkin muncul. Dengan semangat dan tekad yang baru, keduanya berkomitmen untuk bekerja sama, membimbing masyarakat agar tetap berada di jalur yang benar dan menjadikan desa mereka sebagai contoh bagi tempat lain. Malam itu, di bawah sinar lampu yang lembut, harapan akan masa depan yang cerah mulai bersemi, seiring dengan keyakinan bahwa mereka dapat mengatasi segala tantangan yang ada di depan.​


 

ليست هناك تعليقات for "𝐋𝐢𝐤𝐚 𝐋𝐢𝐤𝐮 𝐊𝐞𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟑𝟎 𝐀"