𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟑𝟔
Sesampainya di rumah aku dikejutkan dengan masuknya saldo di salah satu e-wallet yang cukup fantastis, paling besar yang pernah masuk padaku. Semula kupikir itu adalah pembelian di usaha online ku, tapi ternyata setelah ku konfirmasi ke admin, ternyata bukan. Sempet bingung sih, tetapi akhirnya kuketahui kalau uang itu dari pak Rudi. Aku pun segera menghubungi lelaki itu. Katanya untuk jaga-jaga nanti ketika suamiku operasi kaki nya lagi.
Hari pun berlalu. Sesuai masukan pak dokter, akhirnya sekitar se- bulan kemudian barulah diputuskan untuk operasi lanjutan akan dilakukan di Malang saja. Sebenarnya lebih bagus di Surabaya, tapi karena berbagai pertimbangan tetap dilanjut di kota tempat kelahiranku, di sana juga masih ada orang tuaku yang siap membantuku. Persiapan pun dilakukan. Kata papaku, anak-anak nggak perlu ijin sekolah, biar dia yang menunggunya di rumah. Dan sesuai yang diharapkan, operasi itu berjalan lancar. Setelah pulang, suamiku tetap disuruh tetap melakukan fisio therapi di Rumah Sakit sampai benar-benar pulih.
Untuk urusan seksual pun sudah mulai ada peningkatan, suamiku sudah mulai bisa meski tidak se-prima ketika sebelum mengalami kecelakaan. Tapi itu juga tidak begitu masalah bagiku karena pak Kandar dan Made selalu siap memberikan kepuasan buatku, meski tidak sering sih dan itu semua se-pengetahuan suamiku. Rutin sih, minimal seminggu sekali.
Hubungan dengan pak Rudi juga masih gitu-gitu aja. Sebenarnya aku juga masih penasaran juga, tapi urusan kesehatan suamiku mengalihkan pikiranku padanya. Pun demikian dengan keluarga pak Dokter. Sesuai kesepakatan, praktis tidak pernah lagi setelah suamiku kecelakaan, hanya sebatas pertemanan dan bahkan support keluarga medis itu juga sangat kurasakan. Hampir semua tenaga kesehatan yang menangani suamiku adalah spesialis pilihannya sehingga dia juga bisa mengontrol kapan pun dan di mana pun.
Kehidupan pun terus berjalan hingga beberapa bulan kemudian aku mendapat kabar kalau papaku masuk rumah sakit di Malang, terkena stroke. Dengan berbagai pertimbangan aku akhirnya berangkat sendiri menuju kota kelahiranku.
Sudah hampir seminggu papaku dirawat di ruang ICU.. Di keadaan itu pak Rudi kembali berperan banyak. Dia juga ikut menunggu papaku di Rumah sakit. Biasanya ambil shift malam di mana aku dan mamaku pulang. Memang kalau masih di ICU, tidak ada ruang khusus untuk yang menunggu. Pertimbangan itu lah yang menjadikan pak Rudi yang mengambil jam malam, setelah aku dan ibuku datang baru lah dia pulang. Seringnya juga ke rumah kedua orang tuaku untuk beristirahat. Begitu seterusnya sampai adikku yang di jogja datang. Suamiku sendiri tetap bersama anak-anakku agar sekolahnya tidak terganggu.
Hari pun berlalu, baru setelah hampir dua minggu, papaku akhirnya diperbolehkan pulang meski dengan keadaan yang jauh dari normal. “Kamu kapan pulang Nuk” tanya mamaku, di malam ketika pagi harinya papaku pulang dari rumah sakit. “Ga tahu ma, mungkin sabtu besok. Ninuk masih ingin merawat papah” jawabku. “Ehh.. ini masih masih hari rabu.. papa sudah dirumah. Kamu cepet balik aja, biar papa mama yang ngerawat. Gimana-gimana, kamu punya keluarga yang masih membutuhkanmu di sana” jawab mamaku. “Iya ma, besok atau lusa paling. Ninuk mau istirahat dulu” jawabku. Bagaimanapun urusan papa di rumah sakit sangat menyita pikiran dan tenagaku. Bahkan untuk kebutuhan seks pun aku tidak sempat memikirkannya. Meski di sabtu minggu kemarin ketika suami dan anak-anakku datang, sempat juga melakukannya tapi aku tidak begitu menikmatinya.
Keesokan harinya sekitar jam 9 pagi pak Rudi datang, sekedar untuk pamit balik lagi ke K*diri. “Loh Nuk, kamu bareng aja ama Rudi sekalian. Iya kan Rud, ga papa kalo Ninuk nunut pulang?” kata mamaku. “Oh iya bu, nggak apa-apa. Kan sekalian, daripada harus naik bua atau kereta” jawab lelaki itu. “Ihh.. ma, Ninuk kan belum siap-siap.” Jawabku berusaha menolak. Aku masih ingin di Malang paling nggak sampe besok lah. “Oh, nggak papa kok saya bisa nunggu. Nggak keburu juga” jawab pak Rudi yang membuatku tidak punya alasan lagi untuk segera pulang ke K*diri.
Sekitar sejam kemudian, SUV Honda berwarna hitam yang kutumpangi bersama pak Rudi mulai bergerak menyusuri jalanan kota Malang yang tidak begitu ramai ketika weekdays. “Mas, selama mas di Malang, Roy sama siapa di rumah?” tanyaku membuka pembicaraan dengan lelaki yang sedang berkonsentrasi di balik kemudi. “oh, sama pembantu Nuk.. biasa kok” jawabnya. Kami pun ngobrol sambil menikmati pemandangan apik yang tersuguh di jalanan kota Batu. Obrolan yang awalnya santai akhirnya pun mengarah ke hal-hal yang nyerempet. Memang aku sih yang mengawalinya, hehe.
“Nggak mungkin lah.. kalo mas Rudi ga pernah ama yang lain. Ga mungkin ga bakal percaya aku” kataku. “Bener Nuk, berani sumpah. Yang terakhir ya… maaf, yang sama kamu itu” jawabnya. “Ya ga gitu mas… mas punya duit, gampang lah untuk cari pendamping lagi” sahutku masih dengan nada tidak percaya. “Trus, laki-laki juga ga bakal bisa nahan lama untuk nggak gituan, hehe” jawabku lagi. Lelaki itu hanya terdiam. Jujur aja aku semakin penasaran dengan lelaki itu. Sikapnya yang begitu baik kadang kuanggap ada pamrih di baliknya. Dan ketika aku pun membukanya, bahkan suami juga merestui, eh malah dia nggak ada respon sama sekali. Suasana menjadi hening, pertanyaanku yang terakhir belum dijawab lelaki itu.
“Ini dah jamnya maem siang. Kamu nggak laper?” tanya lelaki itu yang jauh melenceng dari arah pembicaraan kami tadi. Aku tersenyum dalam hati. Orang ini bener-bener membuatku penasaran. Bahkan rasa penasaran itu sudah membangkitkan gairahku yang sudah lama sekali belum tersentuh laki-laki. Aku juga penasaran kenapa dengan lelaki itu. “Huhh” gumamku pelan. “Terserah mas… makan dimana?” jawabku. “Oh aku tahu resto enak deket sini, bentar lagi paling lima menitan” jawabnya. Mobil kami kemudian berhenti di sebuah rumah makan yang berkonsep lesehan.
Suasana makan pun tetap seperti tadi. Hanya makan siang biasa. Di situ muncul keraguanku. Apa benar-benar lelaki itu sudah tidak mau lagi denganku. Satu hal yang aku pikirkan. Siapa yang bakal menuntaskan hasratku kali ini. Pak Kandar kah? Atau si Made? Atau keduanya. “Hmmm” gumamku ketika mobil yang membawa kami mulai bergerak menyusuri jalan.
Sejam kemudian kami sudah hampir sampai di perbatasan kabupaten dan akan melewati monumen megah yang menjadi ikonnya. “Udah wis mas? Jadi pulang ini?” gumamku. “Lho memangnya kamu pengen kemana Nuk?” tanya pak Rudi. “Ga tau… pokoknya jangan pulang dulu” jawabku seadanya. Lelaki itu terdiam seperti bingung, tapi mobil tetap melaju tapi dengan kecepatan sedang cenderung pelan. Aku sendiri juga bingung bagaimana caranya lagi untuk mengajak lelaki itu. Birahiku sudah sampai di ubun-ubun. Ingin segera dituntaskan dan tidak mungkin kudapatkan dari suamiku dirumah, melihat kondisinya yang masih belum benar-benar fit. Tapi apa daya sekitar setengah jam kemudian aku pun sampai dirumah. Mobil pak Rudi langsung meninggalkan ku sendiri di depan pagar. Aku pun segera masuk rumah.
Rumahku tampak sepi dan terkunci. Aku sempat bertanya-tanya kemana orang-orang nih, dan setelah kubuka HP ku ternyata suamiku tadi kasih tahu kalau anak-anak dan Inah, pembantuku diajaknya ke Trenggalek, diantar Herman. Nanti baru pulang malem atau bahkan tengah malem. Akhirnya kala itu kuputuskan untuk urus bisnis online ku yang beberapa waktu kutinggal. Untunglah semua masih berjalan lancar-lancar saja. Sekitar jam setengah dua aku kembali ke rubah dan duduk di sofa tengah. Terbersit pikiran untuk ke tempak Pak kandar siang itu tapi entahlah kok tiba-tiba mager aja. Mungkin yang di bayanganku kala itu ya pak Rudi. Tapi nggak kesampaian juga tadi. Aku masih memegang ego ku yang nggak mengajaknya duluan meski sebenarnya dia sudah banyak kukode, tinggal klik aja, bakal kejadian deh. Baru saja aku akan mengabari suamiku kalau aku sudah pulang, ternyata pak Rudi mengirimiku pesan. Dan niatku untuk mengabari keluargaku kalau aku sudah di rumah akhirnya kutunda.
13.27 Pak Rudi : “Istirahat kah?”
13.28 Aku : “Nggak” Kenapa?”
13.30 Pak Rudi : ”Nggak apa-apa.”
“Hah.. udah gitu aja??”
gerutuku dalam hati. Sebenarnya aku ingin ke rumah lelaki itu tapi yang jelas ga nungkin karena di sana ada si Roy yang sudah pulang sekolah. Ga mungkin lah. Akhirnya aku putuskan untuk istirahat.
Malam hari nya, suami dan anak-anakku terkejut mengetahui kedatanganku tanpa mengabari mereka. “Nuk, berarti besok anak-anak nggak usah tak ajak ke trenggalek lagi ya. Kan ada kamu, bisa jemput si Bayu nanti” kata suamiku sesaat setelah kami berhubungan badan malam itu. “Iya mas..” jawabku singkat. Dalam pikiranku aku sudah merencanakan untuk ke tempat pak Rudi besok pagi.
Keesokan pagi nya ternyata si Bayu juga diantarkan suami sekalian berangkat dengan Herman yang membawa mobil. Dan sekitar jam setengah delapan aku sudah di atas motorku menuju tempat pak Rudi. Kusempatkan mampir ke swalayan berwarna merah untuk membeli sebungkus caps dan beberapa snack serta minuman ringan.
Sialnya ketika hanya beberapa kilometer dari tempat yang kutuju, ban belakang motorku tiba-tiba gembos. “Huuhh… ada-ada saja sih” umpatku sambil menjagraknya di tepi jalan yang lumayan sepi itu. Sempat bingung juga menentukan arah dimana tempat tambal ban terdekat, aku akhirnya memutuskan untuk menelepon pak Kandar, untuk membantuku. Paling tidak aku tidak perlu jalan kaki untuk menuju bengkel ban. Tapi ketika aku akan mengambil HP yang ada di tasku, seorang lelaki setengah baya menghampiriku dengan mengendarai sepeda pancal yang juga sudah berumur.
“Kenapa sepeda motornya bu?” tanyanya. “Oh, gembos pak.. mungkin bocor” jawabku. “Oh, di sana bu ada tempat tambal ban. Kebetulan saya yang punya. Pertigaan itu belok kanan, paling lima puluh meter dari sana bu” kata lelaki itu. Aku segera memandang arah yang ditunjuk lelaki itu dan dapat memandang betapa capeknya kalau aku harus berjalan menujunya, apalagi harus menuntun motorku.
“Kalau mau, biar saya yang membawa motornya bu. Ibu bisa naik sepeda saya” lanjut lelaki itu menawarkan bantuannya. “Nggak usah takut bu, saya hanya niat bantu, daripada ibu yang jalan nuntun motornya. Lagian juga tambal bannya punya saya” katanya lagi. Setelah beberapa saat kipikir, akhirnya aku menyetujui tawaran lelaki itu. Tapi aku tetap mengayuh sepeda pancalnya pelan, tetap takut tiba-tiba dia membawa pergi motorku. Jaman sekarang kejahatan bisa kapanpun terjadi.
Hampir setengah jam kemudian kami pun sampai di bengkel ban tempat lelaki itu membuka usahanya. “Sebentar bu” katanya lalu membuka gembok bangunan yang 80 persen terbuat dari kayu dan gedhek. Kulihat jajaran ruko-rujo baru yang berdiri tidak jauh dari situ yang hanya beberapanya yang sudah buka, di belakangnya setahuku ada perumahan baru tapi entah namanya. Di depan, seberang jalan, masih membentang areal persawahan yang mayoritas ditanami jagung.
“Mari bu, silahkan duduk di situ. Sebenarnya ini masih belum jam buka, tapi tadi lihat ibu jalan kasihan juga, soalnya di sekitar sini hanya saya yang buka tambal ban. Ada lagi lumayan jauh. Biasanya nanti jam 10 an baru saya buka. Ini tadi dari pasar” kata lelaki itu sambil mempersiapkan peralatan perangnya. Itu juga yang menjelaskan kenapa ada beberapa sayuran dan tempe di keranjang sepeda mininya.
Setelah memarkir sepeda motorku di dalam, ia lalu masuk ke belakang melalui pintu yang ada sekat selambu berwarna hijau. Sesaat kemudian ia kembali keluar dengan sudah berganti pakaian dengan yang tampak lebih lusuh. Mungkin agar pakaiannya tadi tidak kotor waktu dia bekerja. Aku kemudian ngobrol dengan lelaki itu. Dari sana kuketahui kalau istrinya juga kerja tapi di ibukota provinsi. Anak nya yang nomor dua masih kuliah semester akhir di kota ini. Aku kagum juga dengan perjuangannya menyekolahkan anak-anaknya. Yang pertama sudah menikah dan tinggal di jawa tengah. Kagum dengan kejujurannya, dengan hidup apa adanya yang masih mementingkan pendidikan untuk anak-anaknya.
“Bu, ini bocornya tembus. Gimana tetap ditambal atau ganti baru?” kata lelaki itu sambil menunjukkan ban dalam motorku kepadaku. Ia juga menjelaskan kalau selisihnya hanya sedikit dan lebih baik diganti saja biar lebih awet. Aku pun menyetujuinya. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat gundukan di bagian depan celana pendekknya ketika dia berdiri. Ia juga tampak menyembunyikannya dengan berjalan membelakangiku yang sedang duduk di meja kayu kecil. “Ihh.. masak sih??” gumamku dalam hati. Pikiranku langsung kemana-mana dan bahkan langsung membayangkan gimana kalau aku berhubungan badan dengan lelaki itu. Bagaimanapun kuakui fetish-ku memang dengan lelaki yang berkulit gelap. Dan hal itu langsung membuat kemaluanku basah.
“Kalo ibu berapa minggu sekali pulang pak?” tanyaku. “Oh, nggak itungan minggu bu… setahun cuma dua kali, pas lebaran ama waktu tahun baru aja” jawabnya. “Waduh… jadi sering jajan dong pak” tanyaku dengan nada genit. “Ah, boro-boro mau jajan bu… buat makan aja seadanya” jawabnya sambil terus serius dengan kerjaannya. “Trus, kalo bapak pengen, gimana dong… masak mainin sendiri? Hehe.. suami saya saja pak, seminggu dua kali pasti pulang pak, cuma untuk setor.. hehe” kataku. “Lho, suaminya juga di luar kota bu?” tanyanya. Aku pun mengiyakan, berbohong padanya. “Ya kalo istrinya kayak ibu sih, kalo saya nggak seminggu dua kali bu… tiap hari bakal pulang” jawab lelaki itu yang membuatku tersenyum. Masuk kayaknya.“Tus Gimana nih Nuk, caranya??” tanyaku dalam hati. Terus terang, kalo lagi horni gini akalku tidak bisa berpikir jernih.
Kemudian aku berdiri sambil terus memikirkan gimana caranya. “Kenapa bu?” tanya lelaki itu. “Eee, anu pak… nggak papa.. kebelet pipis” jawabku seadanya. “Oh, ada kamar mandi bu, tapi jelek. Kalo ibu mau” kata lelaki itu kemudian berdiri dan beranjak seakan menyuruhku mengikutinya ke bagian belakang bengkelnya yang tidak begitu luas. Di balik tirai ternyata ada ruangan kecil yang ada timba dan air pompa nya. Di sebelahnya ada dipan yang terbuat dari bambu yang kalo orang sini bilangnya amben yang dilapisi kasur spon yang lumayan lusuh.
“Sebentar bu” katanya membiarkanku berdiri di belakang lelaki itu yang tampaknya mulai memompa air untuk mengisi timba. Tak perlu waktu lama buatnya untuk memenuhi timba berukuran sedang itu dengan air. “Sudah bu, silahkan” katanya kemudian berbalik dan mulai beranjak. Tak banyak omong dan yang ada di pikiranku yaitu inilah saatnya. Aku lalu pura-pura tersandung dan terhuyung dan menimpa tubuh lelaki itu. “Aduhh… maaf pak… aduhh” kataku. Dengan sigap tangan lelaki itu memegang tubuhku dan menahannya. Tercium bau agak menyengat dari tubuh lelaki itu yang malah membuatku semakin bergairah.
Aku kemudian jongkok di hadapannya lalu melorotkan celana pendek yang dipakainya sehingga kemaluannya mencuat keluar, gila ternyata penisnya sudah tegang berdiri. Ukuranya standar juga sih, hanya lebih besar dikit dari punya suamiku. Tanpa banyak omong aku segera mengulumnya. “bu… loh bu… oooochhhh…” erang lelaki itu seperti kebingungan dengan aksiku. Aku tidak memperdulikan perkatannya. Aku terus menjilati penisnya yang membuat nafas lelaki itu memburu.
Kemudian aku berdiri, lelaki itu paham dengan keinginanku. “Sebentar bu, saya tutup bengkelnya dulu, takut ada orang” katanya lalu membetulkan celana pendeknya kemudian beranjak. Terlihat dia memasukkan sepeda pancalnya dan menutup pintu utama bengkel. Aku lalu mengambil sebungkus kondom yang tadi baru kubeli yang sebenarnya kusiapkan untuk pak Rudi dan membukanya. Lelaki itu rupanya mencuci tangannya lalu menuju kepadaku yang berdiri di pinggir ranjang bambu. Tanpa banyak kata ia lalu melepas celana pendeknya yang langsung kurespon dengan memasangkan kondom di penisnya yang masih tegang berdiri. “Rebahan pak. Saya diatas” perintahku yang langsung diturutinya. Aku langsung melepas celana dalam yang kupakai kemudian menarik bagian bawah baju terusan yang kupakai sampai ke perut dan langsung menaiki tubuh lelaki itu lalu memasukkan penisnya dalam vaginaku.
“Ooochhh…” suara mulut kami hampir bersamaan. Aku yang sudah sangat bernafsu itu langsung menggoyangnya dengan rpm tinggi berharap bisa cepat mencapai puncak kenikmatanku yang hampir dua minggu ini tidak pernah kurasakan. Benar saja, tidak sampai dua menit aku sudah mencai orgasmeku. Tubuhku sampai mengejang-ngejang lalu ambruk menindih tubuh lelaki itu. Tanpa kusadari ternyata dia pun sudah muncrat. “Loh keluar pak?” tanyaku dengan suara serak. Lelaki itu mengangguk. Kemudian aku berdiri dan terlihat spermanya memenuhi kondom yang dipakainya. Lelaki itu lalu berdiri. “Enak pak?” tanyaku. Kayak mimpi bu” jawabnya yang membuatku tersenyum. “Maaf bu, keluarnya cepet. Nggak tahan. Saya terakhir ginian enam bulan lalu” katanya sambil melepas kondomnya dan membuangnya.
Lelaki itu lalu kemudian mendekatiku mulai menyentuh payudaraku dan meremasnya pelan. “Lagi pak?” tanyaku yang tidak dijawabnya, ia terus meremas dadadu yang masih terbungkus baju. ‘Bersihin dulu itu nya pak” perintahku yang langsung diturutinya. Ia tampaknya juga kencing. Aku lalu melepas gamis yang kupakai, menyisakan tanktop panjang warna krem menutupi tubuhku. Sesaat kemudian lelaki itu pun kembali dan ronde kedua pun dimulai. Hampir setengah jam kami berhubungan badan. Tidak memperdulikan tempat yang menurutku tidak nyaman dan resiko yang akan dihadapi. Semuanya tertutup gairah nafsu yang nikmat. Lelaki itu juga berhasil mengantarku ke puncak kenikmatanku dua kali di pertarungan itu hingga akhirnya ia juga meraih klimaksnya di posisi doggy style. Singkat cerita, sekitar sejam kemudian aku sudah sampai di rumahku. Segera kuhempaskan tubuhku di sofa tengah sambil memikirkan kenekatan yang baru saja kulakukan. Having sex dengan orang yang tidak kukenal. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya.
ليست هناك تعليقات for "𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟑𝟔"
إرسال تعليق