๐๐๐ฆ๐ข ๐๐ฅ๐๐ฌ๐๐ง ๐๐๐ฌ๐๐ก๐๐ญ๐๐ง ๐๐ฉ๐ข๐ฌ๐จ๐๐ ๐๐
Untungnya lelaki itu masih tampak tenang meskipun raut mukanya menunjukkan bahwa dia sedang berpikir keras. “bu, pakai bajunya dulu, biar saya yang atur” katanya lalu kembali memakai seragamnya kembali. Setelah selesai ia pun keluar kamar dan menguncinya, meninggalkanku sendiri dengan perasaan bingung kalut dan takut. Lebih menyeramkan daripada kemarin ketika hampir ketahuan sewaktu dengan pak Kandar. Gimana tidak, ini yang hampir memergoki adalah anakku sendiri. Apa nanti jadinya kalau dia sampai tahu kalau mamanya sedang berdua dengan ayah sahabatnya sendiri.
Detik-detik terasa sangat lama hingga akhirnya sekitar sepuluh menit pak Bambang pun kembali masuk ke dalam kamar. Terlihat senyum tersungging di wajahnya. “Aman bu” kata lelaki itu. “Aman gimana mas?” tanyaku. “Anak-anak sudah pergi ke rumah njenengan. Tadi saya bilang saya pinjam uang dari njenengan untuk bayar uang rekreasi.
Saya bilang uang saya kurang. Saya suruh sekalian mereka main di rumah Doni saja soalnya saya harus balik kantor habis ini” jelasnya panjang. “Gimana bu?” pulang sekarang kah?” tanyanya. Kulihat waktu memang sudah hampir jam setengah tiga. “Iya mas, sebentar, saya pastikan dulu kalo memang anak-anak sudah sampe rumah” jawabku. Takutnya mereka masih harus berhenti di jalan atau membeli es, dan melihat aku di dalam mobil pak Bambang kan jadi kacau nantinya. Beberapa menit kemudian, si Inah memberitahuku kalau Doni sudah dirumah, sama temannya.
“Ayo mas, ini orang rumah sudah ngabari kalo anak-anak sudah sampai di sana” kataku kemudian masuk ke dalam mobil daih*tsu teri*os putih yang terparkir di dalam garasi. Dua puluh menit kemudian, aku pun di drop di tempat yang sama aku tadi naik mobil itu. Kemudian mengambil mobilku di parkiran Mall dan segera pulang.
Tepat pukul setengah empat sore aku sampai di gerbang rumahku dan ternyata Doni dan Irfan langsung mau kembali ke rumahnya Irfan setelah memberikan titipan ayahnya, uang seratus ribu yang tadi digunakan untuk alasan mereka kesini. Setelah kulihat si Bayu sedang tidur, aku segera mandi, maklum tadi nggak sempat bebersih sewaktu dari rumah pak Bambang.
Sekalian keramas juga, sejam setengah sebelum suamiku pulang, cukuplah buatku untuk mengeringkan rambut. Tak lupa aku mengabari pak Bambang kalau semua baik-baik saja. Bagaimanapun, kejadian tadi sangat-sangat menyita pikiran dan perasaanku.
Menjelang maghrib suamiku datang hampir bersamaan dengan Doni yang baru pulang dari tempat Irfan. Semuanya tampak biasa saja di malam harinya. Pun juga keesokan harinya, hanya saja ternyata pak Bambang harus ke Surabaya ada rapat katanya disana. Barulah di hari terakhir bu Bambang di Jogja, pagi setelah antar Bayu ke sekolah, aku bisa ke rumah pak Bambang lagi. Lelaki itu sengaja mengambil cuti lagi, sekedar hanya bisa meluangkan waktunya denganku.
Tak ayal dari jam setengah delapan pagi sampa sekitaran jam 12 siang, kami bener-bener habis-habisan. Tiga kali kami berhubungan badan dan entah berapa kali aku mendapatkan puncak kenikmatan dari lelaki itu. Penisnya yang ukurannya lumayan besar sangat mudah membuatku orgasme.
Kala itu aku juga memberinya kesempatan untuk merasakan lubang belakangku yang baginya adalah pengalaman pertama melakukan anal seks, karena istrinya tidak pernah mau mencobanya. Siangnya karena kelelahan aku sampe ketiduran di pos ketika menemani suamiku di lahan setelah dari rumah pak Bambang.
Waktu pun berlalu hingga dua minggu kemudian. Hubungan dengan pak Bambang pun sudah tersendat meski nanti apabila ada kesempatan mungkin akan berulang lagi. Enaknya kalau dengan suami orang ya gitu itu, mereka tidak akan terlalu memaksakan untuk bertemu atau apa karena memang kesempatan yang tidak memungkinkan.
Meski juga tak jarang kami komunikasi via wa di waktu jam kerjanya. Dan juga tak bisa kupungkiri, pak Bambang ini yang paling berkesan di antara beberapa pria yang pernah berhubungan badan denganku. Meskipun semuanya mempunyai sensasi yang tidak sama, kecuali pak Rudi, bos distributor pupuk sialan itu.
Hanya saja suamiku tetap saja, seperti tidak lagi bergairah denganku. Kalau urusan kebutuhanku sih aku masih bisa dapat dengan yang lain, seperti si Faris yang juga hampir tiap minggu kujatah, sebenarnya bukan buatku yang utama sih, tapi buat si Faris juga sebagai bentuk pertanggungjawabanku karena telah mengenalkannya dengan apa yang namanya seks.
Rencana yang akan kulakukan untuk tiba-tiba main dengan pak Kandar di depan suamiku masih belum terlaksana. Dan juga swing dengan pasangan pak dokter dan bu dokter masih terjadwal seminggu lagi. Aku kembali kepikiran tentang masalah prostat suamiku, sudah hampir tiga minggu spermanya menumpuk.
“Tetep harus dicoba” gumamku dalam hati. Ingin merubah keadaan bagaimana pun caranya. Ide yang pertamanya dengan pak Kandar, akhirnya beralih ke Faris. Bagaimanapun anak muda itu dalam kendaliku sepenuhnya, dia bakal mau melakukan apa yang kurancang. Tapi model skenarionya bagaimana, ini yang juga membuatku agak kebingungan juga. Sempet juga terpikir untuk minta saran ide dari ibuku, tapi kubatalkan.
Beberapa hari kemudian, seperti biasanya, aku turut ikut suamiku ke lahan. Tapi lagi enak-enaknya di sana, lelaki itu mengajakku untuk ke kantor kecamatan, ada urusan katanya. “Ah, mas kok ga tadi aja sekalian waktu berangkat… Ninuk di sini aja ya?” pintaku. “Oh, ya udah ga papa, cuma sebentar kok Nuk, ambil form aja” kata suamiku kemudian pergi dengan sepeda motornya.
Sesaat setelah suamiku pergi, terlihat pak Kandar yang ada di kejauhan berjalan agak tergesa ke arahku. “Bu, maaf, saya mau tanya. Apa bapak tahu kejadian kapan lalu itu bu, saya dengan Wanto dan ibu?” tanya lelaki ketika sudah berdiri di hadapanku. “Nggak pak. Emangnya kenapa?” tanyaku agak terkejut dengan pertanyaan lelaki itu. “Oh, gitu ya. Soalnya, beberapa hari lalu bapak suruh saya sama si Made sih, bukan Wanto untuk tes kesehatan di Klinik” jawabnya yang semakin membuatku bingung. “lho buat apa pak tes kesehatan?” tanyaku.
“Ya itu bu, saya pikir bapak tahu yang kemarinan itu, trus suruh saya tes kesehatan, biar tahu saya bersih atau nggak katanya. Tapi yang membuat saya juga bingung, kenapa saya dengan Made, bukan dengan Wanto yang kapan hari juga dengan ibu” lanjutnya. “Trus sudah jadi hasilnya?” tanyaku.
“Sudah bu, sebentar.” Jawab lelaki itu kemudian mengambil sesuatu dari tas nya yang tergantung di sepeda motornya yang diparkir tidak jauh dari situ. Ia lalu menyerah dua amplop putih berjudul nama lab kesehatan ternama yang ada di pusat kota.
Kubuka salah satunya tanpa melihat namanya dulu. Hanya ingin melihat isinya dan ternyata hasil lab lengkap. Semmuanya negatif, termasuk item yang menunjukkan tes HIV, Hepatitis, dll. “Itu punya Made bu, kalo punya saya yang ini” kata pak Kandar yang langsung kuambil dan kulihat isinya, bagaimanapun, kapan hari waktu aku main kedua kali dengannya, dia nggak pake pengaman lain dengan si Wanto. Dan yang membuatku lega, semuanya negatif juga.
“Yang jelas saya nggak kasih tahu pak. Pak Kandar sama Wanto juga tolong untuk tidak kasih tahu meski ditanya bapak. Nggak tahu nanti, kenapa bapak kok suruh cek lab segala. Sudah pak Kandar kesana saja, tadi katanya bapak nggak lama ke kecamatan. atau mungkin juga ada kaitan sama form yang diambil bapak di kecamatan” kataku sambil menyerahkan dua amplop tadi kembali kepadanya. Lelaki itu kemudian berlalu dari pandanganku dan kembali bekerja. Tak lama kemudian suamiku pun datang kembali dari kantor kecamatan.
***
Seharian itu aku berpikir, penasaran kenapa juga suamiku meminta dua orang yang sering kerja dengannya untuk tes kesehatan, bahkan cek lab nya yang super lengkap. Kalo suamiku tahu tentang aku dan pak Kandar dan Wanto, ya bakalan yang disuruh pak Kandar dengan si Wanto, bukannya si Made, yang ceritanya anak sebatang kara yang ditinggal mati kedua orang tuanya karena covid beberapa tahun lalu, hampir bersamaa dengan istrinya pak Kandar katanya. Usianya masih muda, pertengahan 20 an kayaknya mungkin seumuran sama si Aldo, aslinya dari pulau Bali katanya. Akhirnya dia kerja serabutan untuk menyambung kehidupannya sendiri dan adik perempuannya, termasuk ikut suamiku menggarap sawah. Atau mungkin saja cek laboratorium itu berhubungan dengan form yang tadi diambil suamiku di kantor kecamatan.
Keesokan harinya aku sengaja tidak ikut ke lahan, dengan harapan bisa menghubungi pak Kandar via telepon yang tadi sempat kucatat dari HP suamiku ketika mandi. Terus terang aku masih penasaran dan kepikiran apa yang akan terjadi. Moga-moga aja medical check up itu benar-benar hanya berkaitan dengan format isian yang ada di kecamatan.
“Mas, Ninuk nanti nggak ikut ke lahan. Rencana mau ke pasar hari ini, plastik pembungkus barang dagangan sudah menipis, takut nanti kehabisan” kataku beralasan untuk bisa menghubungi pak Kandar pagi itu ketika anak-anak sarapan persiapan berangkat sekolah. “Oh, naik mobil apa sepeda motor Nuk?” tanya suamiku. “Mobil aja mas, sekalian nanti Ninuk bawa, kalo pake g*send, kadangan lama, sore baru diantar” jawabku berbohong, padahal barang yang kumaksud baru dua hari lalu re-stock dan cukup untuk kebutuhan satu bulan. “Oh, kalo gitu, setelah antar Bayu, aku langsung aja ke lahan ya” jawab suamiku. “Iya mas, tapi sarapan dulu aja sekalian kalo gitu” kataku yang di amininya.
Sesaat setelah suamiku dan anakku, si Bayu berangkat, aku segera menghubungi pak Kandar via telepon. Lama orang itu tidak mengangkat panggilanku, mungkin dari nomor baru yang tidak dikenal sehingga lelaki itu enggan mengangkatnya. “Huh, sial, ga ada WA nya lagi,” gerutuku. Baru di usaha yang ketiga kalinya, pak Kandar akhirnya mengangkat teleponya.
Aku : “Halo, pak Kandar?”
Pak Kandar : “Iya, dengan siapa ini ya?”
Aku : “Ini saya pak, bu Hadi..”
Pak Kandar : “Oh iya bu Hadi, maaf saya barusan selesai mandi. Ada apa bu?”
Aku : “pak tolong, nanti hubungi saya ya.. kalo pak Kandar kasih hasil laborat kemarin. ada apa suami saya kok suruh gitu”
Pak Kandar : “Iya bu, nanti saya kabari, ke nomor ini kan ya?”
Akhirnya pagi itu aku memutuskan untuk menemani si Inah belanja di pasar. Ngapain juga di rumah sendiri, malah jadi tambah kepikiran. Kemudian sekitar jam 10 an, pak Kandar meneleponku. Ia mengatakan kalau suamiku tidak tanya-tanya tentang medical check up itu. Hanya saja setelah membuka dan membaca hasilnya, ia menyuruh pak Kandar sama Made untuk tidak pulang dulu setelah pekerjaan selesai. Mau omong-omong sebentar katanya.
Aku semakin penasaran tapi harus masih menunggu lagi, entah siang nanti waktu suamiku jemput Bayu sekolah atau bahkan bisa sore hari seperti saat biasanya suamiku pulang. Bener aja, siang ketika suamiku mengantar Bayu pulang, masih belum ada kabar dari pak Kandar. Barulah di jam 4 sore, lelaki itu meneleponku tapi tiap kali kuangkat, langsung terputus. Mungkin dia kehabisan pulsa, sadar akan hal itu aku lalu yang meneleponnya.
Aku : “Halo…”
Pak Kandar : “Halo, iya bu. Maaf pulsa habis.”
Aku : “Iya pak, ga papa, gimana pak?” pak…”
Beberapa saat lelaki itu terdiam.
Pak Kandar : “ Bu, barusan bapak pulang setelah omong-omong dengan saya dan Made”
Aku : “Iya pak, terus.. bapak ngomong apa?”
Kembali dalam beberapa saat lelaki itu terdiam.
Pak Kandar : “Anu bu, eh… gimana ya ngomongnya bu… Bapak minta saya sama Made anu sama ibu”
Aku : “Hah? Maksudnya pak?”
Pak Kandar : “iya bu, itu… anu maksudnya… saya sama Made gituan sama ibu. Sama Bapak juga. Bareng-bareng, kata bapak gitu, besok lusa bu, hari jum’at malam”
Aku sangat terkejut mendengar informasi yang disampaikan oleh pak Kandar dan akhirnya aku mengerti kenapa suamiku menyuruh pak Kandar dan Made tes laborat kemarin. tapi kok Made itu yang aku belum tahu alasannya. “Tapi benarkah?? Sungguhkah suamiku akan melakukan itu??. Aku langsung membayangkan si Made ini, kalo pak Kandar kan memang sudah pernah kapan hari itu. Nah si Made ini, tapi eh… kalo orang asli Bali, ga sunat kah? Hmmm… sejenak aku terdiam, berpikir lalu tiba-tiba suara pak Kandar di telepon mengaketkanku.
Pak Kandar : “Bu… Halo… bu”
Aku : “Eh, Halo… iya pak”
Pak Kandar : “Kata bapak, itu sebagai kado aniversary atau apa gitu buat ibu dan soalnya ibu pernah ijinkan bapak main sama orang lain selain ibu”
Aku : “ Oh gitu pak?” Trus Bapak mau? Si Made?”
Pak Kandar : “Ya jelas mau lah bu. cuma tadi si Made bilang belum pernah gituan bu. kan memang dia belum nikah. Oh iya bu, Aniversary apa ya bu?”
Aku : “Aniversary itu ulang tahun pak. Trus kenapa kok pak Kandar sama si Made yang dipilih pak?”
Pak Kandar : “Oh ulang tahun… kalau masalah itu, kata bapak soalnya hanya saya sama Made yang tidak mempunyai pasangan bu. Kalo yang punya pasangan atau istri, Bapak takut akan menyakiti pasangannya. Bapak ga mau itu”
Aku : “Oh, gitu pak…”
Pak Kandar : “Iya bu, cuma kata bapak, bapak juga mau tanya dulu ke ibu, mau atau nggak”
Aku : “Oh, iya pak. Makasih infonya ya pak. Tolong jangan bilang bapak kalau saya tahu akan rencana ini”
Kemudian lelaki itu menutup sambungan teleponnya. Aku kemudian duduk di sofa ruang tengah. Pikiranku kupaksa untuk berusaha memahami apa yang akan dilakukan oleh suamiku. Dia bahkan menyiapkan kejutan spesial di hari yang kadang aku pun lupa akan hal itu. Hanya saja yang menjadi pertanyaanku, kenapa waktu aku bilang ke dia, aku mau dengan pak Kandar, dia nggak langsung menyuruh kami untuk melakukannya.
Oh, mungkin ini terkait cek laborat itu juga. Mungkin suamiku ingin memastikan kalau lelaki yang akan menjadi pasanganku nanti benar-benar bersih, meskipun dana yang dikeluarkan juga nggak sedikit, kemarin sempat kulihat kwitansinya hampir setengah juta per orang.
Anganku kembali menerawang pada sikap dan tingkah laku suamiku akhir-akhir ini yang menurutku agak aneh sih. Lelaki itu tiba-tiba menjadi seorang yang pendiam. Jangankan untuk berhubungan badan, ngajak ngomong pun ketika memang benar-benar ada perlu dibicarakan saja....
No comments for "๐๐๐ฆ๐ข ๐๐ฅ๐๐ฌ๐๐ง ๐๐๐ฌ๐๐ก๐๐ญ๐๐ง ๐๐ฉ๐ข๐ฌ๐จ๐๐ ๐๐"
Post a Comment